Senin 12 Feb 2024 13:00 WIB

Pusaran Putus Asa Warga Gaza di Rafah

Biden mengatakan respon Israel di Gaza sudah "keterlaluan."

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Warga Palestina di pantai saat matahari terbenam dekat kamp pengungsi Rafah, Jalur Gaza selatan, (11/12/2024).
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Warga Palestina di pantai saat matahari terbenam dekat kamp pengungsi Rafah, Jalur Gaza selatan, (11/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, RAFAH -- Tenda keluarga Abu Mustafa berdiri kokoh di antara tembok beton dan pagar besi yang memisahkan Gaza dari Mesir di Rafah. Tempat terakhir yang relatif aman dari serangan militer Israel, tapi juga akan segera diserang.

Keluarga itu bagian dari lebih dari satu juta rakyat Palestina yang berdesak-desakan di wilayah sekitar Rafah. Mereka khawatir tidak memiliki tempat yang dituju untuk mencari perlindungan di daerah yang sebagian besar sudah menjadi puing-puing.

Baca Juga

"Setiap hari kami berlari, menjadi pengungsi sangat sulit karena saya memiliki dua putri difabel, saya tidak bisa menggendong mereka, saya tidak memiliki mobil atau gerobak," kata Laila Abu Mustafa, Ahad (11/2/2024). "Bila harus mengungsi lagi, saya tidak akan pindah," katanya.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan rencana evakuasi bagi warga sipil yang kini berkemah di jalanan dan lahan kosong, di pantai dan seperti keluarga Abu Mustafa di dekat perbatasan Mesir. Gedung Putih mengatakan melalui sambungan telepon Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meminta Netanyahu untuk tidak menggelar operasi militer ke Rafah tanpa rencana untuk memastikan keselamatan orang-orang yang mengungsi di sana.

Hal ini disampaikan beberapa hari setelah Biden mengatakan respon Israel di Gaza sudah "keterlaluan." Pejabat senior pemerinta Biden mengatakan negosiator sedang mengupayakan kesepakatan untuk membebaskan sejumlah sandera yang ditawan Hamas.

Upaya itu, dilaporkan, sudah mencapai "kemajuan nyata" dalam beberapa pekan terakhir. Pejabat itu mengatakan terdapat sejumlah celah "signifikan" yang perlu ditutup. "Ini sudah hampir ke sana," katanya.

Sebelumnya menyerang kota-kota Gaza, militer Israel memerintahkan warga sipil untuk mengungsi tanpa menyiapkan rencana evakuasi spesifik. Lembaga kemanusiaan mengatakan serangan ke Rafah akan mengakibatkan bencana kemanusiaan.

Operasi militer Israel sebagai balasan atas serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Israel mengklaim Hamas membunuh 1.200 orang yang sebagian besar warga sipil dan menculik 240 lainnya dalam serangan tersebut.

Pengeboman Israel selama empat bulan terakhir mengubah Gaza menjadi puing-puing. Pasukan Israel menguasai sebagian besar pemukiman rakyat Palestina itu, menghancurkan rumah-rumah, gedung dan infrastruktur publik dengan serangan udara, artileri dan bahan peledak dengan kendali.

Pihak berwenang Palestina mengatakan sudah 28 ribu orang tewas dalam serangan Israel. Sekitar 85 persen warga Gaza kehilangan tempat tinggal. Jajak pendapat PBB menemukan satu dari 10 anak-anak di bawah lima tahun mengalami malnutrisi akut.

Upaya untuk memfinalisasi gencatan senjata ini sejauh ini gagal mencapai kesepakatan. Pekan lalu Israel menolak proposal Hamas dengan mengatakan mereka tidak akan berhenti bertempur selama Hamas memiliki brigade yang bersembunyi di Rafah.

Sumber keamanan Mesir mengatakan pembicaraan tingkat tinggi rencananya akan digelar pada Selasa (13/2/2024). Pejabat tinggi dari Qatar dan AS serta delegasi Israel dan Palestina dilaporkan akan hadir dalam pertemuan tersebut.

Beberapa hari terakhir Israel sudah mulai menggelar serangan udara ke Rafah. Pada Ahad (11/12/2024) Hamas mengatakan serangan udara Israel ke Jalur Gaza selama empat hari terakhir menewaskan dua sandera dan melukai delapan lainnya.

Kelompok itu mengatakan serangan Israel ke Rafah akan "membatalkan" diskusi kesepakatan untuk membebaskan sisa sandera yang masih ditawan. Dalam wawancara dengan stasiun televisi ABC, Netanyahu menegaskan kembali pasukan Israel akan menggelar serangan ke Rafah tapi dengan "rencana spesifik" kemana warga sipil harus mengungsi.

"Kami akan melakukannya, kami akan mendapatkan sisa batalion teroris Hamas di Rafah, kami akan melakukan sementara memberikan jalur aman bagi populasi sipil," katanya. Netanyahu meragukan keakuratan laporan total korban jiwa rakyat Palestina. Ia menggambarkan angka yang dilaporkan pihak berwenang kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas itu sebagai "statistik Hamas."

"Hanya satu warga sipil yang tewas untuk satu teroris Hamas di Gaza, kami telah membunuh atau menewaskan sekitar 20 ribu teroris Hamas, dari jumlah itu 12 ribu adalah pejuang," katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Otoritas kesehatan Palestina mengatakan sekitar 70 persen korban jiwa di Gaza adalah wanita atau anak-anak di bawah 18 tahun. Pada bulan Desember lalu Militer Israel mengatakan mereka memperkirakan sekitar dua warga sipil terbunuh di Gaza untuk setiap pejuang Hamas yang tewas.

Organisasi Kesehatan Dunia menggambarkan sistem laporan jumlah kematian Kementerian Kesehatan Palestina "sangat baik." Lembaga PBB kerap mengutip angka yang disajikan kementerian sebagai angka resmi.

Di pagar perbatasan yang dipagari kawat berduri, keluarga Abu Mustafa menjemur cucian di antara tenda-tenda. Mereka memasak sedikit makanan yang bisa mereka kumpulkan dalam kaleng-kaleng di atas api di atas pasir.

Salah satu pengungsi, Mariam mengatakan ketakutan akan serangan ke Rafah merupakan topik konstan dalam setiap percakapan di kota yang penuh sesak itu. Mariam mengungsi dari rumahnya di Kota Gaza pada awal perang bersama tiga anaknya yang berusia lima, tujuh, dan sembilan tahun.

"Saya tidak bisa menggambarkan apa yang kami rasakan. Ada kekacauan di kepala saya. Anak-anak saya terus bertanya kepada saya kapan Israel akan menginvasi Rafah dan ke mana kami akan pergi dan apakah kami akan mati. Dan saya tidak punya jawabannya," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement