REPUBLIKA.CO.ID, Hening Parlan (Direktur GreenFaith Indonesia dan Wakil Ketua LLH PB PP ‘Aisyiyah)
Laju kerusakan lingkungan saat ini berada di angka yang tidak pernah kita bayangkan. Aktivitas manusia terus meningkatkan suhu bumi dan memicu bencana demi bencana imbas dari krisis iklim.
Dari sekitar 8 miliar manusia ada di bumi, sebagian besar atau 84 persen mengaku memeluk agama merujuk pada studi Pew Research Center tahun 2015. Di Indonesia, hampir 90 persen penduduknya mengaku menganut ajaran agama sebagaimana mereka cantumkan dalam kolom di KTP.
Bisa dikatakan bahwa krisis iklim dipicu oleh ulah orang-orang beragama. Maka sudah sepantasnya mereka pula harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan sebagai umat yang mengaku beragama.
Perempuan menjadi pihak yang paling terdampak dalam krisis iklim. Studi yang dilakukan Dunne tahun 2020 menyebutkan perempuan lebih terpengaruh oleh dampak kesehatan yang terkait dengan perubahan iklim daripada laki-laki. Perempuan dan anak perempuan lebih mungkin meninggal dalam gelombang panas di Perancis, Cina, dan India dan dalam badai tropis di Bangladesh dan Filipina.
Selain itu, krisis iklim berdampak meningkatnya kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, transaksi seksual, dan perdagangan seks yang dialami oleh perempuan.
Mengutip laporan Women Deliver tahun 2021, etika sumber daya alam semakin langka akibat perubahan iklim. Perempuan kerap menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya untuk menjangkau makanan dan minuman, yang kemudian dapat membuka peluang resiko terpaparnya perempuan pada resiko kekerasan berbasis gender seperti pelecehan seksual, pelecehan fisik, dan lainnya.
Krisis iklim adalah tempat di mana konflik objektivitas sains dan kepentingan politik seperti tidak ada ujungnya. Ketika pengetahuan dan kebijakan birokrasi mengalami kebuntuan untuk mencegah kerusakan semakin meluas, maka agama berperan penting sebagai penjaga nilai universal tentang etika dan moral, termasuk untuk lingkungan.
Seluruh ajaran agama memiliki nilai yang mengajarkan manusia untuk menjaga, merawat, dan memuliakan bumi. Ajaran Islam menempatkan manusia sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 30, Allah SWT menciptakan manusia untuk ditempatkan di muka bumi secara silih berganti untuk memakmurkan bumi atas dasar ketaatan kepada Allah. Artinya semua manusia secara setara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjaga, merawat, dan memakmurkan bumi sebagai perwujudan kehadiran agama Islam untuk menciptakan kedamaian bagi seluruh alam.
Namun seringkali ego besar manusia membuatnya bertindak serakah dan melupakan nilai-nilai agama. Keserakahan menjadikan manusia hanya berpikir untuk keuntungan dirinya sendiri dan mengabaikan keberlanjutan kehidupan. Hubungan manusia dan alam yang seharusnya harmonis dan berkelanjutan menjadi hubungan jangka pendek yang hanya didasari motif keuntungan ekonomi, dan alam hanya dilihat sebagai sumber komoditas yang bisa terus dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Cara pandang ini akhirnya mengesampingkan relasi manusia dengan alam. Ego besar manusia yang tidak diimbangi dengan etika dan moral membuat hubungan manusia dan alam yang seharusnya harmonis dan berkelanjutan menjadi relasi yang tidak seimbang. Hal ini kemudian memicu konflik antara manusia dengan alam dan sesamanya yang justru berbalik merugikan manusia, seperti persoalan alih guna lahan.
Desakan pembangunan membuat ruang-ruang terbuka hijau di atas bumi semakin terdesak oleh tiang pancang beton. Lahan terbuka yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air menjadi lahan terbangun di daerah aliran sungai. Akibatnya, frekuensi bencana banjir dan longsor makin meningkat. Kondisi ini semakin diperparah dengan anomali cuaca akibat krisis iklim.
Di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang pada awal Januari 2023 terjadi banjir bandang di sekitar Sungai Pengkol. Alih guna lahan menjadikan wilayah cekungan di dekat daerah aliran sungai justru dijadikan sebuah lokasi perumahan. Sementara di Kota Batu, Malang, alih fungsi lahan di DAS Sungai Brantas memicu banjir lumpur yang menutup jalur utama Batu-Mojokerto pada 2021 serta badai pasir di Desa Sumberbrantas pada 2019 dan 2020. Tepi Sungai Brantas yang sebelumnya memiliki pohon untuk menyerap air hujan berubah menjadi lahan pertanian semusim yang tidak mampu menyerap air. Dan semua itu yang menjadi korban terbesar adalah perempuan dan anak.
Dalam hal alih guna lahan juga menjadi penyebab konflik sesama manusia yang berdampak negatif. Pada September 2023, Komnas HAM mencatat adanya peningkatan secara masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia yang mencapai 692 kasus. Mayoritas aduan kasus berasal dari kelompok masyarakat, individu, masyarakat adat, dan organisasi yang sebagian besar ditujukan kepada korporasi, disusul pemerintah daerah dan pusat serta kepolisian. Masyarakat tidak dilibatkan dan terpinggirkan dalam pengelolaan lingkungan.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun seringkali bertolak belakang. Ada komitmen untuk penghentian operasi semua PLTU batubara pada 2025. Namun muncul kebijakan elektrifikasi kendaraan listrik yang kembali menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Transisi ke energi bersih akhirnya hanya menjadi konsep semu karena solusi yang ditawarkan pemerintah justru memperpanjang ketergantungan bahan bakar fosil yang berkontribusi pada kenaikan laju emisi. Ketika masyarakat ingin berdialog, mereka justru dibenturkan dengan kekuatan besar negara, militer, dan korporasi. Prinsip pembangunan berkelanjutan dengan prinsip kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan akhirnya hanya sebatas pembangunan fisik yang mengesampingkan keadilan.
Agama dapat menahan laju keserakahan yang merusak lingkungan dengan kekuatan nilai-nilai kebijaksanaan ajaran agama manapun yang, idealnya, dijalankan secara utuh dan menyeluruh oleh pemeluk-pemeluknya. Dalam isu lingkungan dan krisis iklim, selama ini agama diposisikan identik dengan cara pandang fatalisme.
Anomali cuaca, bencana, dan berbagai dampak krisis iklim dilihat sebagai ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Padahal ada andil manusia dalam kerusakan-kerusakan tadi dan tentunya menuntut tanggung jawab manusia. Upaya manusia untuk bertanggung jawab pada lingkungan inilah yang seharusnya menjadi dasar kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang selama ini lebih condong pada cara-cara mengeruk keuntungan pribadi sebesar-besarnya dan mengabaikan kepentingan lain yang lebih besar. Kemampuan manusia dalam berpikir seharusnya digunakan untuk ber-ijtihad, menafsirkan ajaran-ajaran agama secara kontekstual sehingga ada titik temu antara perintah Tuhan dengan persoalan saat ini.
Saya melihat ada ruang yang sangat luas untuk mengimplementasikan ajaran agama dalam bentuk aksi lingkungan atau bisa kita sebut green movement. Hal ini mengembalikan esensi agama more than way of life, di mana agama tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta dan relasi horizontal sesama manusia, namun juga hubungan manusia dengan alam semesta. Selama ini pendidikan agama belum banyak menyentuh hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Padahal lingkungan ada di seluruh siklus hidup manusia. Mulai dari lahir hingga masuk ke liang kubur, semuanya berhubungan dengan lingkungan.
Semua tindakan kita adalah ibadah dan memerlukan hubungan dengan alam, Misalnya wudhu di agama Islam, pembaptisan dalam agama Katolik, atau melukat oleh penganut agama Hindu di Bali yang menggunakan medium air secukupnya. Jika kita sudah menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang mengatur cara kita beribadah dengan Tuhan, maka seharusnya kita pun menjalankan perintah agama untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Kepercayaan kita pada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan seisinya seharusnya diwujudkan juga dengan menjaga ciptaan-Nya sebagai bagian dari keimanan kita. Kiranya tidak berlebihan jika kita meragukan keimanan seseorang jika ada mengaku beragama namun tindakannya justru merusak alam.
Pembahasan agama dan lingkungan mesti menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat penting. Dalam berbagai budaya, alam diinterpretasikan sebagai sosok ibu lewat ungkapan mother nature, ibu bumi, hingga ibu pertiwi. Alam dianggap sebagai sosok ibu yang memberikan kehidupan. Dalam Islam, ibu adalah madrasatul ula, sekolah pertama dan utama yang menjadi tempat belajar kehidupan. Perempuan adalah mubalighat lingkungan untuk mengajarkan nilai-nilai agama dalam aksi-aksi nyata menjaga lingkungan sekitar sekaligus menyiapkan generasi-generasi penerus sebagai generasi yang memberikan keberkahan bagi semesta alam.
Sangat penting untuk membangun resiliensi atau kelentingan perempuan terhadap krisis iklim. Pertama dengan memberikan pemahaman tentang krisis iklim agar perempuan memiliki kemampuan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak krisis iklim. Selanjutnya adalah membangun kemampuan dari berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi serta psikologi. Dengan demikian, kita akan mempunyai barisan perempuan-perempuan yang mempunyai kelentingan dalam menghadapi krisis iklim. Perempuan-perempuan ini menjadi akar dari masa depan generasi. Apabila akarnya luruh, tidak kuat, tipis maka pohon-pohon generasi itu akan tumbang.
Berikutnya adalah mendorong perjumpaan sesama perempuan untuk menghimpun upaya-upaya individu menjadi inisiatif bersama. Dalam upaya membangun resiliensi ini, agama dapat menyatukan para perempuan lewat kekuatan nilai-nilai kebaikan yang dianut bersama juga kemampuan untuk menyatukan massa dalam aksi yang lebih besar sebagai gerakan atau green movement.
Kita berharap pemimpin bangsa ini yang akan terpilih nanti memiliki komitmen terhadap moral dan etika sebagaimana telah mereka janjikan selama kampanye kemarin. Komitmen ini akan menjadi semacam kompas yang akan menentukan sejauh mana kebijakan-kebijakan yang dibuat nantinya akan memberikan kemaslahatan bagi segenap warga negara dan keberlanjutan bagi lingkungan. Mari kita tunggu dan kawal janji para Cawapres.