REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi mengomentari soal wacana hak angket kecurangan Pemilu yang digulirkan sejumlah pihak. Menurutnya meski secara prosedural bisa dilakukan, namun secara politik hak angket tergantung dari proses politik.
"Komposisinya sudah lebih dari 280 kursi yang melawan 02, secara di atas kertas itu mungkin, tapi kita perlu masuk ke analisis politik, apakah itu visible secara politik, karena hak angket kalau tidak bisa, masuk ke interpelasi hak bertanya. Itu semua proses politik," kata Arya Budi dalam diskusi bertajuk 'Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia?', Jumat (23/2/2024).
Arya menilai proses politik terbilang beda dengan di atas kertas. Peta koalisi Pemilu 2024 berbeda dengan koalisi pemerintah. Partai pendukung 02 cenderung lebih solid dibanding partai pengusung 01 dan 03.
"Kenapa 02 lebih solid karena data survei itu split tiket voting di antara partai itu rendah di antara partai-partai 02, sementara 01 itu tinggi split tiket voting itu preferensi orang memilih partai dan capresnya itu berbeda," ucapnya.
Sedangkan partai pengusung 01 cenderung kurang solid. PKB misalnya yang sebagian besar mendukung 02. "Pemilih-pemilihnya basis pemilih kiai-kiainya dan seterusnya, sehingga potensi pecah justru ada di 01 maupun 03 dan itu melemahkan potensi hak angket secara politik. Sekali lagi hak angket ini proses politik," ujarnya.
Sementara Nasdem berpeluang rekonsolidasi dengan pemerintah setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi di istana beberapa waktu lalu. Pun PPP yang dianggap tidak punya gen di luar kekuasaan.
"Jika hanya PDIP di 03 dan PKS di 01, maka nggak penuh sampai 280 kursi itu yang kemudian menjelaskan hak angket secara politik bisa jadi jalan terjal," tuturnya.