REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muh. Fadhly Kurniawan, M. Hum, Peneliti di Transkrip Tradisi Lisan Indonesia-Alumnus FIB Universitas Indonesia
Apa sih urgensi membahas keroncong dan langgam? Apakah saat ini di sekitar kita keroncong dan langgam sedang tidak baik-baik saja? Ataukah kita belum bisa membedakan apa itu keroncong dan langgam? Tulisan ini berangkat dari catatan yang saya himpun dari sebuah diskusi pada hari Sabtu, 2 Maret, di Adapada kedai cabang jalan Sultan Alauddin.
Penghujung bulan Februari saya melihat pamflet bertemakan BIKIN RIBUT#2 betebaran di medsos Instagram, ternyata isinya mengenai diskusi Keroncong dan Langgam. Uniknya kegiatan ini diadakan oleh Urban Eggs, ini cukup mengubah mindset saya tentang Urban Eggs selaku penyelenggara.
Selain menciptakan karya musik, rupanya Urban Eggs juga menyediakan ruang alternatif untuk berdialektika menyoal seputar kebudayaan dan fenomena kesenian di sekitar kita. Ternyata, kegiatan diskusi atau BIKIN RIBUT perdana mereka dilaksanakan pada 9 Agustus 2018 dengan judul “Napak Tilas Tari Paduppa”, acara ini dimoderatori Lukmanul Hakim, dan pembicara (Alm) Burhanuddin Daeng Ngawing.
Kemudian BIKIN RIBUT kedua berjudul “Keroncong≠Langgam. Apa iya? Atau…” dimoderatori oleh Andi Tenri Ajeng Amir, ST (Daeng Sarrang). Pemantik Adi Atma Hudzaifah Syukur, M. Sn (Acho), dan Narasumber Khaeruddin, M. Pd (Pak Udin).
Diskusi hari itu berjalan dua sesi, dimulai sekitar pukul 16.30 sampai masuk waktu salat maghrib dan dilanjutkan setelah salat Isya sampai pukul 22.00. Banyak hal informatif yang saya dapatkan dari narasumber maupun para audiens, semuanya saling berbagi informasi dan pengalaman masing-masing terhadap dua kata kunci diskusi ini, yaitu kroncong dan langgam Makassar.
Dimulai dari Acho sebagai pemantik, ia memaparkan hasil tesisnya yang berjudul “Langgam Makassar: Hasil adaptasi Keroncong terhadap musik daerah di Makassar”. Prolog yang dibawakan Acho ialah mengenai musik langgam di Jawa yang diadaptasi dari instrumen lokal ber-scale syailendro-pelog, dan gamelan merupakan inspirasinya.
Kemudian langsung masuk ke narasi jenis musik lokal Makassar yang terdiri dari kelong, orkes to riolo, parambang, dan loskin. Acho menitikberatkan pembahasannya pada konteks kesenian Makassar yang berlaku hingga saat ini.
Sebagai contoh, banyak pola kelong yang dimasukkan juga dalam komposisi musik langgam, misalnya salah satu pola Paruntukkana 8-8-5-8, pola ini merupakan rumus jumlah suku kata dalam satu frase lirik lagu. Misalnya, A-nging-mam-mi-ri-ku-pa-sang: 8, pi-tu-ju-i-ton-to-ngan-na: 8, na-ma-ngu-ra-ngi: 5, tu-te-na-yya-pa-ri-si-na: 8.
Selain itu, yang sering ditemukan dalam syair langgam ialah penggunaan diksi aule yang menggambarkan konteks di malam hari, sedangkan daile di pagi hari. Acho menambahkan bahwa pada jenis musik Parambang itu sangat sarat dengan musik Melayu sehingga memiliki lagu-lagu khusus. Pun pada Loskin (losquint-menghilangkan nada quint) memiliki ciri khas pada ornamen petikan arpeggio pada musiknya.
Setelah sesi Acho sebagai pemantik, Pak Udin mencoba memaparkan materinya mengenai sejarah keroncong dan konteks langgam. Ia membuka materinya dengan mengatakan “Langgam maupun keroncong adalah penamaan sosial dan merupakan hasil ekspresi jiwa”. Itulah yang terjadi pada keroncong, secara etimologi keroncong berasal dari dua kata, yaitu kron dan cong. Penamaan ini berangkat dari fonetik atau bunyi musik petik gitar-fado, kemudian membentuk warna musik cak dan cukulele.
Menelisik kesejarahannya, musik keroncong dibawa oleh bangsa Portugis saat melakukan ekspansi ke Nusantara pada abad 16. Beberapa lokasi pesebarannya yaitu Malaka-Ambon-Batavia-Solo yang kemudian menjadi pusat penyebaran musik keroncong di Nusantara.
Pada diskusi itu, saya menanyakan mengapa kebudayaan Makassar sama sekali tidak mengenal musik keroncong? Padahal, bila melihat catatan sejarah, bangsa Portugis dan Makassar juga menjalin kerjasama di abad 16.
Ada yang mengatakan musik keroncong adalah salahsatu bentuk propaganda dan provokasi agar kebudayaan barat diadopsi, tetapi, menurutku pengetahuan musik keroncong yang dibawa Portugis itu merupakan salahsatu jenis kendaraan syiar agama Kristen Katolik di Nusantara. Namun, satu hal yang unik dari akar musik keroncong ialah warna musik minornya yang diketahui berasal dari pengaruh bangsa Arab Moor saat menjajah bangsa Portugis. Argumentasi ini masih perlu dilacak jejak dan kebsahannya.
Selanjutnya mengenai konteks langgam Makassar, Pak Udin menjelaskan era Ibu Nurhadi Sapada atau Anida merupakan masa kejayaan keroncong dan maraknya langgam Makassar. Adapun salahsatu tokoh yang berpengaruh terhadap perkembangan musik langgam di Makassar ialah Pak Syahrial Tato. Hal itu disebabkan beliau sering menyaksikan Pak Udin bermusik keroncong mix lagu daerah bersama komunitasnya yaitu Langgam Alternatif Fort Rotterdam yang berubah menjadi Langgam Samboritta, di sekitar gedung kesenian.
Hal itulah yang mendasari Pak Syahrial Tato untuk pengadaan instrumen musik keroncong yang kemudian bertransformasi menjadi musik langgam Makassar, sehingga terciptalah program Daeng Mampo (mari-mari poso) di siaran TVRI Sulsel dan melahirkan grup-grup populer, salah satunya ialah grup I Lolo Gading. Berangkat dari fenomena ini, artinya ialah peran media sangat vital dalam proses perkembangan dan syiar musik langgam Makassar dan sekitarnya. Selain itu, langgam Makassar juga tumbuh di ruang publik yang dinamai Lontang—tempat melepas penat sehabis bekerja, menurut Ocang kata Lontang dicurigai berasal dari bahasa Inggris yaitu Long time yang kemudian diakronimkan menjadi lontang.
Bertalian fenomena di atas, kenyataannya, banyak yang perdebatkan antara musik keroncong dan langgam Makassar itu tidak sama. Apakah ini hal yang memang perlu diperdebatkan? Menurut saya, keduanya ini masing-masing punya persamaan dan perbedaan, utamanya dari segi unsur istilah musikalnya. Bila melihat proses kesejarahannya, keroncong memang merupakan akar dari musik langgam Nusantara.
Lalu, mengapa menggunakan kata langgam? Karena berdasarkan KBBI, arti kata langgam adalah gaya; model; khas; bentuk irama lagu. Olehnya itu, diksi langgam adalah kata yang pas untuk mewakili suatu ciri khas dan bentuk irama lagu tertentu. Jadi, secara musikal, musik langgam punya istilah sendiri untuk menamai dirinya sebagai satu sub-genre, pun pada musik keroncong sebagai akar musik langgam dan genre.
Persamaan antara keroncong dan langgam Makassar dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, yaitu utamanya ialah cak-cuk, cello, dan bass. Kemudian penggunaan istilah engkel-lansang, double-palari, kotek (intro tapi jarang dipakai), pras, mati 8, dan masih banyak lagi. Perbedaannya tidak begitu signifikan, musik langgam wajib menggunakan bahasa daerah, sedangkan keroncong menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu, musik keroncong menggunakan skala teori musik barat, yaitu C adalah natural atau dihitung sebagai akor Satu, sedangkan musik langgam Makassar tetap berangkat dari teori musik barat circle of fifth (menghitung kres dan mol), yaitu G sebagai akor Satunya, dan diistilahkan sebagai se’rena.
Sebagai penutup, pembahasan antara keroncong dan langgam Makassar tentu tidak akan ada habisnya. Keduanya punya sejarah dan narasi yang besar bila dilihat sebagai fenomena di masyarakat. Karena itu, untuk menengahi simpang siur identitas keduanya, saya memberikan opsi pada diskusi malam itu bahwa keroncong adalah akar dari musik langgam Nusantara, dan langgam Makassar adalah salahsatu sub-genre keroncong.
Keduanya kini sudah memiliki pasar masing-masing dan hidup di tengah masyarakat pemiliknya. Pertanyaannya kembali ke kita, apakah betul kita telah memiliki musik genre nasional dan memiliki identitas musik skala lokal?
Selamat hari Musik Nasional, 9 Maret 2024.