REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum korupsi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo mengendus kecurigaan dalam mangkraknya kasus pemerasan yang melilit mantan ketua KPK Firli Bahuri. Ari memandang ada yang tidak lazim dari pengembangan kasus itu.
Firli Bahuri sudah berstatus tersangka di kepolisian sejak November 2023. Tapi sampai saat ini, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya tak segera melakukan penahanan.
"Ada yang lebih lama dari itu, misalnya RJ Lino yang sampai 5 tahun menyandang sebagai tersangka. Meskipun demikian, 100 hari menyandang status tersangka tidaklah lazim," kata Ari kepada Republika.co.id, Selasa (19/3/2024).
Ari menerangkan sejumlah alasan kasus Firli ini pantas disebut tak lazim. Pertama, saat menjadikan seseorang sebagai tersangka tentu penyidik sudah memiliki bukti cukup. Minimal paling tidak dua alat bukti. "Jadi ketika Kejaksaan menyatakan P-17, seharusnya penyidik tidak akan kesulitan melengkapinya," ujar Ari.
Kedua, Ari menyinggung keseriusan penyidik Polda Metro Jaya dalam memenuhi berkas ke Kejaksaan. "Tinggal ada tidak political will dari penyidik. Kalau tidak kunjung dilengkapi maka wajar jika publik memberikan penilaian negatif terhadap kinerja penyidik," ujar Ari.
Berikutnya, Ari menduga latarbelakang Firli sebagai mantan polisi turut mempengaruhi mangkraknya perkara ini. Ari mengkhawatirkan konflik kepentingan karena penyidik dan Firli sesama berasal dari Korps Bhayangkara.
"Apalagi penyidiknya dari Kepolisian sehingga rawan terjadi conflict of interest dalam penanganan kasus ini karena Firli juga berasal dari korps Kepolisian," ucap Ari.
Ari mengamati Esprit de corps atau semangat melindungi dalam satu korps masih sangat kental di organisasi militer dan kepolisian. Sehingga menurutnya, potensi itu ada di kasus Firli.
"Untuk mematahkan anggapan tersebut maka penyidik harus menjawab dengan tindakan nyata untuk melengkapi berkas perkara Firli Bahuri," ujar Ari.
Hingga saat ini, Polda Metro Jaya masih berkutat pada urusan administrasi berkas penyidikan yang diketahui sudah tiga kali bolak-balik dari Kejaksaan Tinggi Jakarta. Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya menjerat Firli Bahuri dengan sangkaan Pasal 12e, atau Pasal 12B, atau Pasal 11 UU Tipikor 31/1999 juncto Pasal 65 KUH Pidana.
Sangkaan tersebut terkait dengan tuduhan pemerasan, dan penerimaan gratifikasi berupa uang lebih dari Rp 7,4 miliar dari tersangka korupsi eks mentan Syahrul Yasin Limpo. Pemberian uang tersebut, terkait dengan proses penyelidikan, dan penyidikan korupsi di Kementan yang saat itu dilakukan oleh KPK.