Sabtu 20 Apr 2024 18:03 WIB

Indonesia Diminta Antisipasi Eskalasi Konflik Timur Tengah, Ini Dampaknya Menurut INDEF

APBN sebaiknya digunakan untuk belanja produktif, bukan konsumtif.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Indef
Foto: indef.or.id
Indef

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eskalasi konflik di Timur Tengah yakni serangan Iran ke Israel yang berdampak saling balas ini akan berdampak pada Indonesia. Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan, peningkatan konflik ini akan memberikan pengaruh signifikan kepada Indonesia yang saat ini masih mengimpor minyak dari Timur Tengah sekitar 3,45 juta barel per bulan.

"Ketika ada konflik antara Iran Israel yang dikhawatirkan adalah tentunya akan ada keterbatasan suplai karena adanya perang. Orang mau ngirim atau mengekspor itu kan juga lebih sulit, akibatnya apa? ketika suplai terbatas, permintaan tetap saja, maka yang terjadi adalah kenaikan harga minyak," ujar Esther dalam Diskusi Publik: Ekonom Perempuan INDEF Bicara Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global, Sabtu (20/4/2024).

Baca Juga

Padahal kata Esther, harga minyak merupakan komponen dari biaya transportasi yang berdampak pada kenaikan harga-harga barang. Tentunya jika biaya transportasi naik karena melonjaknya harga minyak, maka hal ini akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang.

Kedua, karena kenaikan harga minyak tinggi, maka bisa berdampak pada pembengkakan anggaran APBN.

"Kalau kita bicara APBN kan ada yang namanya asumsi makro indikator makro ekonomi, harga minyak ini pasti akan berdampak pada pembengkakan ya biaya-biaya atau besarnya anggaran yang ada di APBN sehingga karena adanya kenaikan harga minyak ini, diprediksi akan ada defisit ya fiskal sebesar 2 sampai 3 persen," ujarnya.

Menurutnya, jika Pemerintah tidak mengatur anggaran yang ada di APBN maka akan membuat ruang fiskal akan jauh lebih kecil. Sehingga, Esther menilai perlunya pemerintah untuk mengevaluasi anggaran belanja yang lebih efektif dan efisien.

Ia mendorong APBN lebih banyak digunakan untuk belanja produktif dibandingkan belanja konsumtif.

"Seperti makan siang gratis, saya rasa itu adalah belanja yang konsumtif ya tetapi lebih baik diarahkan ke belanja yang produktif yang bisa men-generate income atau produktivitas dari sektor bisnis kemudian dan berdampak jangka panjang," ujarnya.

"Maka dari itu kalau belanja pemerintah ini bisa diarahkan ke belanja yang lebih produktif, saya rasa akan membuat pertumbuhan ekonomi kita lebih sustain, lebih terpantau gitu dalam jangka panjang," tambahnya.

Ketiga, Esther menilai perlunya Indonesia memperkuat fundamental ekonomi agar tidak terdampak signifikan dalam situasi global. Karena itu, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap global.

"Caranya bagaimana agar kita tidak berdampak, ibarat orang yang sakit ya meskipun di sebelah kita sakit, kalau kita stamina badan kita itu sehat dan kuat ya, itu tidak akan tertular kita. Sehingga yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah memperkuat fundamental ekonomi dengan meningkatkan ekspor ya atau devisa negara lebih banyak," ujarnya.

Ia menyebut sektor-sektor yang bisa ditingkatkan diantaranya pariwisata, peningkatan ekspor komoditas nonmigas.

"Jadi kalau kita semakin tergantung, maka ada shock sedikit dari global ya, shock variabel dari luar itu kita akan lebih rentan. Tetapi kalau kita ketergantungannya itu makin kecil, maka saya rasa apapun yang terjadi di luar itu tidak akan berdampak pada perekonomian dalam negeri atau kita bisa meminimalkan dampak dari apa yang terjadi di global itu," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement