Ahad 21 Apr 2024 19:39 WIB

Perang Iran-Israel Bisa Picu Kenaikan Harga Minyak Sampai 120 Dolar AS per Barel

Perang Iran-Israel dinilai pemilihan umum Amerika Serikat pada November 2024.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Karta Raharja Ucu
Seorang warga Iran berjalan melewati spanduk anti-Israel yang memuat gambar rudal Iran, di Teheran, Iran.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Seorang warga Iran berjalan melewati spanduk anti-Israel yang memuat gambar rudal Iran, di Teheran, Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai eskalasi konflik Iran-Israel berdampak kepada sejumlah sektor, salah satunya harga minyak dunia. Terlebih, konflik tersebut diproyeksikan masih akan berlanjut hingga pemilihan presiden Amerika Serikat pada akhir tahun ini. 

Associate Indef Asmiati Malik mengatakan asumsi harga minyak saat ini berada pada wave empat. “Ini adalah masa ketika kemudian harga minyak itu menurun mengalami dikoreksi,” kata Asmiati dalam diskusi Indef, Sabtu (20/2/2024). 

Meskipun begitu, Asmiati mengingatkan, setelah berada pada wave asumsi harga mintak akan menuju ke wave lima. Dalam tahapan tersebut, dia mengatakan harga minyak akan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. 

“Maka kemungkinan harga minyak dunia itu akan melampau 120 dolar AS per barel dan kalai kita kembali pada penganggaran subsidi kita itu akan sangat berdampak signifikan,” ucap Asmiati. 

Terlebih, Asmiati menilai perang tersebut tidak akan berakhir dalam jangka pendek. Terutama sebelum pemilihan umum Amerika Serikat pada November 2024. 

Kenapa momen Pemilu AS penting? Kita harus melihat dari pendekatan internasional politik ekonomi, bahwa rezim itu tidak akan terjadi perubahan signifikan selama tidak ada perubahan siapa pemimpin utama di Amerika Serikat,” ungkap Asmiati. 

Jika nantinya Joe Biden atau Donald Trump yang nantinya akan bersaing di pemilihan tersebut, dia menilai masing-masing tentu akan memiliki kebijakan yang berbeda. Dengan asumsi jika Joe Biden kemungkinan besar akan terpilih, Asmiati menyebut maka tidak akan terjadi perubahan signifikan terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. 

Untuk itu, dia mengatakan keberpihakan Amerika Serikat dan keinginan untuk bergabung dalam proxy war di Rusia, Ukraina, Iran, Palestina, dan Israel itu akan terus berlangsung. “Jadi dengan asumsi tersebut, perang ini eskalasinya mungkin akan terus berlanjut sampai kemudian pemilihan presiden Amerika Serikat. Oleh karena itu tentu dampaknya juga akan terus terjadi,” tutur Asmiati. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement