Selasa 23 Apr 2024 21:53 WIB

Anak Kecanduan Game, Dokter Ibaratkan 'Rem Mobil Blong', Ortu Harus Apa?

Kecanduan gawai sebabkan keterlambatan bicara dan kehilangan fokus.

Rep: Santi Sopia/ Red: Friska Yolandha
Anak bermain game online (ilustrasi). Pemerintah segera merampungkan peraturan presiden (perpres) tentang perlindungan anak dari game online.
Foto: Dok. Freepik
Anak bermain game online (ilustrasi). Pemerintah segera merampungkan peraturan presiden (perpres) tentang perlindungan anak dari game online.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan viral rangkaian video terkait anak-anak yang diduga kecandungan game online (gim daring). Kecanduan gawai dan gim daring ini telah terbukti berbahaya secara medis.

Menurut DR Dr I Gusti Ayu Trisna Windiani, Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, gawai tidak hanya menyebabkan keterlambatan bicara dan bahasa, tetapi juga mengganggu fokus anak. Hal itu karena fungsi eksekutifnya sudah terganggu.

Baca Juga

"Karena otak depan untuk memorinya untuk kontrol emosinya, keinginannya terganggu (akibat) terpapar terlalu banyak dan terlalu dini dengan gawai itu maka seperti mobil, rem blong, mau apa harus cepat, harus dapat, mental emosi terganggu," kata DR Dr I Gusti Ayu dalam acara bersama IDAI, Selasa (23/4/2024).

Dokter I Gusti Ayu mengatakan menurut penelitian, adiksi internet, yang paling banyak adalah karena game online. Jadi itu salah satu faktor yang menyebabkan adiksi.

Untuk mendeteksi adiksi internet ini sebenarnya sudah ada kuisioner versi indonesia. Ketika sudah adiksi, anak umumnya hanya berpikir soal internet saja.

"Anak bisa mulai kehilangan hobinya, lupa makan, bahkan lupa tidur karena pikirannya gawai terus. Ada topik khsuus soal adiksi," lanjut dia.

Di samping itu, dalam paparan materinya, dokter I Gusti Ayu mengatakan anak dan balita yang menonton atau mendapat paparan gawai lebih dari 20 menit setiap hari, mengalami level tantrum (66,3 persen). Tahapan pertama tantrum biasanya anak berteriak.

Ketika anak tantrum, orang tua jangan berteriak. Jangan mudah menyerah dan malah tidak konsisten dengan aturan yang ditetapkan soal gawai dan tentu ortu perlu jadi teladan.

"Ayahnya tidak boleh, Ibu tidak boleh, eh kakek neneknya boleh. Itu yang berbahaya. Yang dewasa dulu yang berubah. Ortu dulu baru anaknya berubah. Konsisten. Disiplin tetap jangan mudah berubah," kata dia.

Tantrum pada usia empat tahun ke bawah umumnya bisa dikatakan normal, namun di atas usia itu perlu waspada tantrum abnormal. Tantrum yang normal biasanya hanya menangis, berteriak, menjatuhkan diri lantai tetapi kalau sudah menyakiti orang lain, perlu waspada tantrum abnormal. 

Cara menghadapi anak tantrum, kuncinya ada pada orang tua. Menurut dokter I Gusti Ayu, penanganan tantrum normal relatif gampang, sedangkan yang ada patologisnya perlu ditangani dengan terapi intervensi ke klinik tumbuh kembamh.

Terapi ini akan memperbaiki kemampuan bahasa, perilaku, maka tantrum anak akan berkurang. Sebab tantrum karena dia tidak mampu mengungkapkan apa yang diinginkan. 

Untuk tantrum abnormal, penanganannya perlu oleh dokter tumbuh kembang khusus dan multidisiplin. Durasi terapi tentu bisa berbeda. 

Tantrum pada masa kanak-kanak jika tidak segera ditangani, bisa berpengaruh ketika dewasa. Dikhawatirkan menjadi orang minim empati, kurang kesadaran bahkan gangguan tertentu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement