REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Haji Marsudi Syuhud menilai program makan siang dan susu gratis merupakan terobosan untuk menciptakan generasi Indonesia Emas 2045 lantaran merupakan penunjang kesenjangan sosial.
Menurut dia, kesejahteraan masyarakat harus dibangun dengan hadirnya negara dalam usaha meningkatkan kualitas hidup sosial, salah satunya melalui makan siang dan susu gratis, yang sering disalahartikan oleh para kritikus sebagai program pemborosan.
"Para kritikus seharusnya melihat realitas kehidupan masyarakat bahwa kesenjangan sosial memerlukan terobosan yang ready to serve, bukan sekadar ready to act," ujar Marsudi dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.
Untuk itu, dia berharap menjaga ketersediaan gizi bagi anak-anak sekolah hingga anak-anak muda menjadi budaya atau kebiasaan masyarakat ke depannya karena mereka merupakan tumpuan dan lini terdepan dalam pembangunan kualitas manusia Indonesia.
Anak-anak muda atau Gen Z, kata Marsudi, menempati jumlah populasi terbesar dari kelompok umur yang akan menentukan masa depan Indonesia ke depan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025—2045, delapan misi menuju Indonesia Emas menempatkan anak-anak muda bukan hanya sebagai objek, melainkan juga subjek pembangunan sehingga harus diiringi dengan kualitas bibit unggul.
Dengan demikian, kata dia, anak-anak Indonesia yang saat ini baru lahir atau sedang berada pada usia pendidikan awal harus diusahakan kecukupan gizinya agar mampu menjadi generasi unggul.
"Agar mereka menjadi role player of the game, merekalah pemain inti dalam Indonesia Emas 2045," ucap pengasuh Pesantren Ekonomi Darul Uchwah tersebut.
Maka dari itu, dia menuturkan bahwa Indonesia beruntung karena Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mempunyai visi dan misi dalam kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas pembangunan.
Hal tersebut, menurut Marsudi, merupakan Sebuah program welfare state development (pembangunan kesejahteraan negara) yang menempatkan warga negara sebagai kekuatan sosial sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain kecukupan gizi, lanjut dia, persoalan lain yang tak kalah penting adalah infrastruktur penunjang dalam pembelajaran lantaran sekolah bukan sekadar proses datang pagi dan pulang siang.
Sejak anak hendak berangkat dan dalam perjalanan, dia menyebutkan infrastruktur, baik fisik maupun sosial, seperti hadirnya keamanan dan ketertiban yang menjadi penting.
"Ketika bersekolah, bukan sekadar menerima ilmu saja, melainkan pembangunan kualitas sumber daya manusia diciptakan melalui pendidikan akhlak dan sosial, yang belakangan sejak era reformasi ini mulai kurang," tutur Marsudi.
Oleh karena itu, dia menilai Pancasila sebagai pedoman bangsa harus menjadi garis batas sosial pembentukan perilaku Generasi Emas 2045.
Dalam hal tersebut, dia berpendapat bahwa perilaku masyarakat juga perlu mendapat perhatian khusus untuk melakukan lompatan pembangunan itu sehingga perlu dibuatkan pedoman sosial bermasyarakat agar Indonesia tetap menjadi negara santun dengan semangat gotong royong.