REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan haji dengan visa non haji atau tidak prosedural sah, tetapi cacat dan pelakunya berdosa.
Keputusan ini menjadi salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar pada 28 Mei 2024 di Jakarta.
Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring, diikuti KH. Afifuddin Muhajir, KH. Musthofa Aqiel Siraj, KH. Masdar F Masudi, KH. Sadid Jauhari, KH. Abd Wahid Zamas, KH. Kafabihi Mahrus, KH. M Cholil Nafis, KH. Muhibbul Aman Aly, KH. Nurul Yaqin, KH. Faiz Syukron Makmun, KH. Sarmidi Husna, KH. Aunullah A’la Habib, KH. Muhyiddin Thohir, KH. Moqsith Ghozalie, KH. Reza A Zahid, KH. Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH. Abd Lathif Malik. Sementara hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama RI, Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz, dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, seperti dikutip dari siaran pers Kemenag, Kamis (30/5/2024).
Putusan Ini Didasarkan pada Sejumlah Pertimbangan
Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha'ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Secara umum... Baca di halaman selanjutnya...