Senin 03 Jun 2024 15:29 WIB

BEI Ungkap Aturan Baru Soal Delisting dan Relisting Saham

BEI saat ini tengah intensif melakukan harmonisasi peraturan dengan OJK.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Karyawan beraktivitas di dekat layar elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan beraktivitas di dekat layar elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia (BEI) menyampaikan peraturan terbaru yakni peraturan bursa nomor I-N mengenai delisting atau pembatalan pencatatan saham dan relisting atau pencatatan kembali saham. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan peraturan bursa I-N bertujuan mengakomodasi kebutuhan bisnis dan praktik terkini, khususnya dalam meningkatkan perlindungan investor saat terjadi delisting. 

"Sebenarnya peraturan ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tapi kita melakukan tambahan atau penyesuaian," ujar Fahmi saat Edukasi Wartawan terkait Peraturan I-N (Delisting dan Relisting) di Jakarta, Senin (3/6/2024).

 

Nyoman menyebut hal ini terjadi agar menyesuaikan dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 3 tahun 2021 terkait penyelenggaraan kegiatan di bidang pasar modal dan surat edaran OJK nomor 13 tahun 2013 tentang pembelian kembali saham perusahaan terbuka akibat pembatalan pencatatan efek.

 

"Kami sesuaikan karena ada peraturan yang lebih tinggi dan juga harmonisasi ketentuan delisting dan efek bersifat utang atau sukuk (EBUS) pascapenggabungan Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya," ucap Nyoman. 

 

Dalam peraturan terbaru ini, Nyoman menyampaikan, bursa tidak lagi mengatur harga buyback atau pembelian saham kembali untuk voluntary delisting atau delisting saham karena permohonan perusahaan. Namun, bursa memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi buyback terkait forced delisting atau delisting saham karena keputusan bursa karena going concern. 

 

Nyoman menyampaikan bursa pun mewajibkan pembayaran biaya delisting dari dua kali Annual Listing Fee (ALF) menjadi lima kali ALF untuk biaya voluntary delisting. Nyoman menyebut kebijakan ini dapat menjadi pertimbangan kembali bagi perusahaan saat hendak melakukan voluntary delisting. 

 

"Kenaikan biaya ini bukan untuk pendapatan bursa, tapi untuk pengembangan pasar modal. Ini juga agar perusahaan menghindari delisting sehingga bisa mempertahankan status perusahaan tercatat di bursa," sambung Nyoman. 

 

Nyoman mengatakan peraturan bursa I-N juga akan menginformasikan perusahaan yang berpotensi forced delisting serta realisasi rencana pemulihan kondisi perusahaan. Menurut Nyoman, hal ini akan meningkatkan kesadaran investor terhadap kondisi perusahaan tersebut.  

 

Nyoman menjelaskan kriteria Forced Delisting EBUS juga mendapat tambahan dengan adanya pertimbangan going concern, default 6 bulan, serta tidak memenuhi peraturan yang tertera. Sementara untuk relisting, Nyoman menyebut bursa mengacu pada ketentuan Pencatatan awal di Papan Utama atau Papan Pengembangan.

 

"(Perusahaan tercatat) wajib memenuhi kewajiban pembayaran sebelumnya dan kode perusahaan tercatat sama seperti sebelumnya," lanjut Nyoman. 

 

Nyoman menyampaikan BEI saat ini tengah intensif melakukan harmonisasi peraturan dengan OJK. Nyoman menyampaikan keputusan forced delisting akan memerlukan waktu yang cukup lama karena adanya sejumlah proses yang harus ditempuh.  

 

"Untuk forced delisting tentu ada pihak-pihak yang wajib bertanggung jawab untuk pembelian kembali atas saham publik yang beredar, apakah punya kemampuan atau tidak. Perlu identifikasi dan ini membutuhkan waktu," kata Nyoman. 

 

Kepala Divisi Peraturan dan Layanan Perusahaan Tercatat BEI Teuku Fahmi Ariandar mengatakan BEI menerapkan standar tinggi memberikan persetujuan bagi perusahaan yang hendak IPO. Hal ini bertujuan untuk menghindari potensi delisting di kemudian hari. 

 

"Tahun lalu banyak yang IPO, namun sebenarnya banyak juga yang kita tolak, ada sekitar 25-30 persen yang tidak memenuhi saringan bursa, meski pun secara persyaratan sudah memenuhi," ucap Fahmi. 

 

Fahmi menyampaikan BEI memiliki sejumlah kriteria dalam menentukan perusahaan dapat IPO. Fahmi mengatakan perusahaan wajib memiliki manajemen dengan reputasi yang baik, bersih dari aspek hukum, dan juga going concern. 

 

"Saat ini ada 37 perusahaan dalam pipeline (daftar tunggu IPO), sekitar 73 persen ke papan pengembangan dan 16 persen ke papan utama, ini tergantung hasil evaluasi final nantinya," kata Fahmi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement