Senin 04 Jul 2016 08:01 WIB

Kian Santang Dianggap Melakukan Pelanggaran karena Memeluk Islam

Red: Karta Raharja Ucu
 Suasana kesibukan umat Islam pada bulan suci Ramadhan di Masjid As Salafiyah atau biasa disebut juga dengan Masjid Pangeran Jayakarta, Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, Senin (30/7). (Aditya Pradana Putra/Republika)

Pada abad ke-17 orang dari berbagai bangsa di Nusantara bertemu di Jakarta. Adat kebiasaan masing-masing terpaksa ditinggalkan karena beraneka ragam. Karena itu, kampung-kampung di sekitar kota dan desa-desa pedalaman bersatu dalam hal agama, dan kemudian dalam hal bahasa Melayu Betawi.

Gereja reformasi, tulis Hayken, tak sampai mencoba penginjilan, karena dianggap mustahil mentobatkan orang Muslim atau Tionghoa. Kecuali kegiatan Katholik yang dilarang sampai 1806. Batavia dan daerah sekitarnya mengalami semacam ‘Melayunisasi’ cepat setelah medio 1700. Letnan Gubernur Jenderal Raffles sampai menulis pujian terhadap perkembangan Islam yang pesat pada masanya.

Untuk menjajaki sejumlah masjid tua yang sampai kini masih berdiri, baiklah kita mendatangi Masjid Al-Alam di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini dibangun oleh Fatahilah dan pasukannya untuk menyerang Portugis (1527). Ada keyakinan masyarakat di sini, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari.

Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarai, lebih-lebih pada malam Jumat kliwon. Seratus tahun kemudian (1628-1629), ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda guna mengatur siasat perjuangan. Bahkan, ada yang mengatakan masjid ini dibangun oleh prajurit Sultan Agung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement