REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Mulai H-7 Lebaran lalu, sebagian besar warga Jakarta dan kota-kota besar di Tanah Air sudah sibut dalam persiapan mudik. Baik dengan kendaraan pribadi, umum, kereta api, kapal laut, maupun udara.
Bagi mereka, Lebaran tidak pulang kampung kurang afdol. Tidak jarang orang berani memboncengkan istri dan anak naik motor untuk jarak ratusan kilometer. Jumlah pemudik dengan motor pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bagi orang Minang —yang sejak kecil dididik untuk merantau dan diperkirakan lebih dua juta orang di Jakarta— saat mudik dikenal dengan istilah ‘pulang besamo’. Mudik berkonvoi, dengan berbagai stiker ditempel di mobil, lalu disambut dan dielu-elukan voorijder di perbatasan provinsi.
Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ”Ayo ke rantau mengubah nasib,” kira-kira begitulah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.
Kondisi saat sebagian masyarakat berebut mudik, sampai akhir 1950-an, jauh berbeda. Ketika itu tidak terlalu disibukkan arus mudik.
Tidak ada posko-posko khusus. Apalagi pengerahan aparat keamanan untuk mengamankan Lebaran.