REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Jakarta pertengahan 1950'an. Menyelusuri Jalan Kramat Raya dari bioskop Rivoli hingga bioskop Grand di segi tiga Senen berjarak sekitar satu km tiap malam selalu ramai oleh manusia yang hilir mudik. Ratusan pedagang kaki lima menggelar dagangannya tanpa khawatir akan digusur oleh Tramtib yang ketika itu belum muncul.
Puluhan becak yang ngetem dan hilir mudik dijadikan tempat transaksi oleh para PSK (pekerja seks komersial) untuk menggaet para hidung belang. Apabila terjadi 'kecocokan' harga, keduanya dengan menaiki becak pergi entah ke mana untuk 'ngamar'.
Di antara kerumunan manusia yang lalu lalang, ada sesuatu yang unik yang sampai kini tak mungkin terjadi lagi. Yaitu, seorang dokter yang buka praktek di kaki lima di Jalan Kramat Raya dan tempat-tempat keramaian lainnya di Jakarta. Dialah dokter Basri, yang dengan pakaian dokter dan pengukur tensi (stetoskop) di lehernya tengah memeriksa pasien-pasiennya yang nongkrong di kaki lima untuk menunggu giliran.
Ketika berpraktek di kaki lima, dokter Basri yang tetap dikenal penduduk Jakarta yang hidup pada 1950-an memakai mobil merek Austin yang diberi titiran di atasnya dan gambar kotak-kotak di badan mobil yang disulap menjadi ruang praktek.