Rabu 06 Jul 2016 09:35 WIB

Menakar Dampak Ekonomi dalam Ritual Mudik

Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Angpao Lebaran
Foto: dok Republika
Lonjakan wisatawan saat Lebaran membuat Pemkot Yogyakarta menyediakan sembilan lahan parkir di sekitar Malioboro.

Seandainya uang yang harus dipegang oleh masing-masing pemudik rata-rata sekitar Rp 5 juta, dan jumlah pemudik diasumsikan sekitar 17 juta orang, maka uang yang beredar sudah sekitar Rp 85 triliun. Ini belum termasuk transaksi RTGS.

“Bayangkan saja bila para pemudik menyisihkan dana dengan niat untuk zakat, infak, sedekah (ZIS) sebesar minimal Rp 100 ribu per pemudik, maka setidaknya terkumpul Rp 1,7 triliun. Jumlah sebesar ini bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan penjaminan kredit daerah (Jamkrida) yang hanya butuh modal awal Rp 50 miliar atau membiayai beasiswa sekian ribu pelajar/mahasiswa,” ujar Mudrajad menjelaskan.

Menurut Mudrajad, besarnya dana yang tersebar dalam masa mudik tidak hanya menggeliatkan ekonomi perdesaan, tetapi juga mendongkrak ekonomi perkotaan. Kenyataan ini disebabkan masa Lebaran, sifat konsumtif masyarakat mengalami kenaikan sehingga laju pengeluarannya dananya bisa memancar ke segala arah. Untuk membuktikan kesuksesannya hidup di kota, para pemudik biasanya membeli sepeda motor, TV, lemari es, ponsel, baju Muslim, sepatu dan lain-lain.

Pemberian uang untuk keluarga di daerah perdesaan sering juga dialokasikan untuk membeli barang-barang tersebut. Mudrajad menyebut sungguh disayangkan apabila arus dana mudik tidak dimanfaatkan untuk pembangunan daerah. Karena itu, Mudrajad mengajak semua pihak memanfaatkan momentum mudik sekaligus untuk mengembangkan ekonomi daerah asal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement