REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menyambut baik langkah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Namun kelompok buruh mencatat ada sejumlah poin yang harus menjadi perhatian pemerintah, yaitu pemerintah pusat dan daerah perlu membuat jaminan lebih mudah untuk mengakses cuti enam bulan bagi pekerja perempuan.
"Sebab dalam ketentuan tersebut, cuti tambahan (setelah 3 bulan pertama) hanya dapat diberikan jika ada keadaan khusus yang dibuktikan dengan keterangan dokter. Syarat Keadaan khusus tersebut hendaknya dipermudah," kata Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, dalam keterangannya, Rabu (5/6/2024).
Selain itu kelompok buruh juga mendorong agar upah bagi pekerja perempuan yang mengambil cuti pada bulan ke-5 dan ke-6, tetap dibayarkan 100 persen gaji, bukan 75 persen dari gaji. Berkaitan dengan cuti bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan, buruh juga mendorong hendaknya mencapai 10 hari.
"Ini penting untuk menjamin keselamatan ibu dan anak pascamelahirkan," ucapnya.
Pemerintah melalui Disnaker juga didorong untuk menjamin kepatuhan dari perusahaan untuk memberikan cuti maksimal 6 bulan dan upah 100 persen kepada pekerja perempuan yang melahirkan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka berharap Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan nantinya dapat memperkuat upaya pemerintah dalam menurunkan stunting pada anak.
"Dengan kata kesejahteraan ini bisa diterjemahkan ke dalam parameter-parameter yang lebih implementatif dan lebih terukur sebagai ukuran adanya peningkatan kesejahteraan ibu dan anak," kata Diah Pitaloka.
Pihaknya mengatakan untuk mencapai tingkat kecukupan gizi pada anak, harus dilakukan edukasi dan sosialisasi sehingga masyarakat mampu memahami dan menerapkan pengetahuannya dalam upaya-upaya memenuhi gizi anak.
"Misalnya tingkat kecukupan gizi bagi anak, kita ingin edukasi, sosialisasi atau (pemberian) informasi yang bisa meningkatkan gizi anak anak kita, jadi sifatnya tidak hanya ada program, lalu selesai," kata perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) ini.
Lebih lanjut, RUU ini diharap nantinya akan terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) dalam pemberantasan stunting. "Sifatnya nanti menjadi terintegrasi dengan perencanaan nasional yang nantinya ini menjadi komitmen nasional dalam pemberantasan stunting," kata Diah Pitaloka.
RUU KIA merupakan inisiatif DPR RI pada 30 Juni 2022. Pemerintah kemudian menindaklanjuti RUU KIA dengan menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama seluruh pemangku kepentingan.