Sabtu 08 Jun 2024 13:24 WIB

Pakar Sarankan One Health untuk Respons Kematian Manusia Akibat Flu Burung

One Health adalah kerja bersama kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Petugas Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Cimahi menyuntikkan vaksin AI (Avian Influenza) Inaktif ke unggas di salah satu peternakan di Padasuka, Kota Cimahi, Jawa Barat, Kamis (9/3/2023). Dispangtan Kota Cimahi melakukan vaksinasi terhadap unggas milik peternak sebagai upaya pencegahan dan kewaspadaan munculnya kasus flu burung di Kota Cimahi. Selain itu, kewaspadaan tersebut bertujuan untuk menghindarkan kerugian ekonomi akibat kematian massal unggas.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Cimahi menyuntikkan vaksin AI (Avian Influenza) Inaktif ke unggas di salah satu peternakan di Padasuka, Kota Cimahi, Jawa Barat, Kamis (9/3/2023). Dispangtan Kota Cimahi melakukan vaksinasi terhadap unggas milik peternak sebagai upaya pencegahan dan kewaspadaan munculnya kasus flu burung di Kota Cimahi. Selain itu, kewaspadaan tersebut bertujuan untuk menghindarkan kerugian ekonomi akibat kematian massal unggas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama menyarankan agar konsep Satu Kesehatan (One Health) diterapkan secara nyata untuk merespons kasus kematian perdana pada manusia akibat penyakit flu burung (H5N2). Kasus kematian pertama akibat flu burung sudah terjadi di Meksiko.

"Sehubungan kewaspadaan yang disampaikan WHO tentang meninggalnya kasus pertama akibat penyakit flu burung, maka perlu kita ketahui bahwa flu burung adalah salah satu penyakit infeksi yang punya potensi menimbulkan wabah. Dan bahkan bukan tidak mungkin menyebar antarnegara," kata Tjandra Yoga, Sabtu (8/6/2024).

Baca Juga

Ia mendorong agar Indonesia mewujudkan penerapan konsep One Health dalam pelayanan kesehatan yang nyata di lapangan. Katanya, jangan hanya berupa panduan kebijakan saja.

"One Health adalah kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan," katanya.

Selain itu, kata Tjandra, pendekatan One Health juga perlu diperkuat surveilans lapangan di seluruh pelosok Indonesia untuk mendeteksi kemungkinan adanya varian-varian flu burung.

Dilansir dari United States Geological Survey (USGS), tipe Flu Burung terbagi menjadi tiga berdasarkan protein pada pemukaan virusnya. Yakni Hemagglutinin (HA) yang memiliki 16 subtipe (H1 sampai H16), Neuraminidase (NA) memiliki sembilan subtipe (N1 sampai N9), dan Kombinasi HA dan NA seperti H5N1, H5N2, dan H7N2.

Respons terhadap flu burung juga memerlukan partisipasi aktif dalam komunitas kesehatan global untuk memantau dan mengendalikan penyakit tersebut. Ia mengatakan setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan dunia perlu selalu waspada pada flu burung dengan beragam jenisnya.

"Pertama, karena mulanya terjadi pada unggas dan unggas itu di satu sisi dekat dengan manusia, bahkan ada di sekitar rumah. Di sisi lain, mungkin saja dapat terjadi migrasi burung antarnegara dengan sekaligus membawa penularan dan penyebaran penyakit," katanya.

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara menyebut flu burung dapat menular ke manusia seperti sudah beberapa kali pernah terjadi di dunia dan di Indonesia. "Kalau sudah tertular pada manusia, maka kasusnya dapat menjadi berat dan bahkan kematian, gradasinya tergantung jenis flu burung yang menulari," katanya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (5/6/2024) mengumumkan bahwa seorang penduduk Meksiko menjadi orang pertama di dunia yang meninggal karena jenis flu burung yang sebelumnya tidak terdeteksi pada manusia. Strain H5N2 dari flu burung telah tercatat menyerang unggas di seluruh dunia. Pria berusia 59 tahun, penduduk negara bagian tengah Meksiko, disebut telah jatuh sakit sejak April 2024.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement