REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai banyak polemik di masayarakat. Program tersebut digadang-gadang dapat menjadi jalan keluar bagi masyarakat untuk memiliki rumah.
Namun, dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Rachmad Kristiono Dwi Susilo menilai, aturan yang dikeluarkan justru terlalu normatif dan terkesan terburu-buru. "Program ini berlaku bagi pegawai negeri maupun swasta dengan sistem potongan gaji. Bagi masyarakat berpenghasilan pas-pasan, program ini tentu sangat membebani," ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Menurut Rachmad, PP Tapera mengamanatkan, gaji pegawai akan dipotong sebesar tiga persen untuk simpanan perumahan. Sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung oleh karyawan. Dana yang terkumpul dalam Tapera nantinya dapat digunakan untuk membantu peserta membeli rumah pertamanya.
Sayangnya yang luput dari perhatian pemerintah, kebutuhan terhadap perumahan setiap orang itu berbeda-beda. "Belum tentu masyarakat MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) belum punya rumah. Program ini seakan-akan menjadi kebijakan yang memaksa, tidak boleh tidak. Padahal, tidak semua perusahaan mau, apalagi perusahaan yang tidak terikat dengan karyawan langsung," ujar Rachmad.
Dia menyatakan, terdapat dua hal yang harus ditinjau ulang oleh pemerintah sebelum merealisasikan program Tapera. Pertama, pemerintah harus memastikan berapa banyak orang yang membutuhkan program tersebut. Pasalnya, pemerintah belum memiliki data yang akurat mengenai hal itu.
"Lebih baik program ini bersifat sukarela. Terlebih, pihak eksekutif belum juga memberikan alasan mendasar mengenai model perencanaan Tapera yang lengkap. Sebenarnya, jika ditinjau dari jangka panjang, program ini bagus agar semua masyarakat memiliki rumah. Selama implementasi prosedur dan prakteknya tidak melenceng," ucap Rachmad.
Selain itu, sambung dia, banyak juga masyarakat yang beranggapan bahwa program itu belum realistis. "Anggap saja, dua tahun juga belum mesti dapat rumah. Harus lebih dari 50 tahun terlebih dahulu. Sehingga, banyak yang menyebut ini hanya dikaitkan dengan program bisnis pemerintah," jelas Rachmad.
Di sisi lain, cara paling gampang untuk memberikan alternatif perumahan, menurut Rachmad, adalah pemanfaatan lahan milik negara yang bisa dibangun menjadi rumah susun (rusun) dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya, dengan memperkuat program bedah rumah dan bantuan untuk rumah tidak layak huni seperti yang telah banyak dilakukan oleh pemerintah.
Hal itu juga bisa diimbangi dengan banyaknya investasi yang dimiliki oleh negara. Sehingga, subsidi untuk masyarakat kurang mampu juga akan tercukupi. Rachmad menyebut, dengan berbagai kontroversi yang menyelimuti, Tapera memang harus dievaluasi lebih lanjut.
"Program ini memang memiliki tujuan mulia untuk membantu masyarakat memiliki rumah, namun pelaksanaan dan implementasinya harus lebih matang dan realistis. Pemerintah diharapkan mampu memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat agar program ini dapat berjalan sesuai harapan," kata Rachmad.