REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon (PMDK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi memaparkan berbagai strategi OJK dalam menghadapi perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sedang mengalami tekanan. Dalam sepekan, IHSG terus mengalami pelemahan.
IHSG pada Jumat (14/6/2024) pagi dibuka melemah 6,33 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.825,22. Sementara itu, kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 turun 0,11 poin atau 0,01 persen ke posisi 858,51.
Selama sepekan ini, IHSG telah melemah 0,31 persen. Sementara secara year to date, IHSG telah turun 0,29 persen.
Strategi yang akan dilakukan OJK adalah pertama, berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) dalam payung Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kedua, lanjutnya, menghimbau kepada para pelaku pasar untuk bersikap rasional dan mempertimbangkan faktor-faktor, baik fundamental maupun sentimen-sentimen dalam penentuan keputusan berinvestasi. Lalu, ketiga, melakukan close monitoring bersama dengan Self-Regulatory Organization (SRO) terhadap transaksi untuk memastikan pasar berjalan secara teratur, wajar, dan efisien.
Kemudian, keempat, melakukan brainstorming dengan SRO, asosiasi, pelaku pasar untuk mendapatkan insight, masukan, dalam pengembangan kebijakan dan peraturan ke depan.
Inarno menjelaskan pergerakan IHSG dipengaruhi oleh faktor fundamental dan sentimen baik dari global maupun domestik.
Dari sisi fundamental emiten, berdasarkan rilis data keuangan kuartal I 2024, lebih dari 50 persen emiten kinerjanya menurun dan data agregat profit tercatat turun 10,6 persen year on year (yoy) dibandingkan dengan kuartal I 2023.
Ia menjelaskan bahwa beberapa hari yang lalu Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal bahwa kondisi perekonomian global masih diliputi ketidakpastian yang berpotensi mempengaruhi tekanan terhadap ekonomi dalam negeri.
Selain itu, lanjutnya, Indonesia juga akan menghadapi tantangan imbas dari pelemahan ekonomi negara maju, harga komoditas yang mempengaruhi inflasi, berlanjutnya era suku bunga tinggi, serta volatilitas nilai tukar dan risiko konflik geopolitik.
"Adapun faktor suku bunga tinggi, baik di global maupun domestik, hal tersebut tentunya akan mempengaruhi akselerasi kinerja emiten di bursa," ujar Inarno.