REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Langkah Kejaksaan Agung (Kejakgung) yang memasukkan unsur kerusaan lingkungan dalam perhitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi timah, dinilai sebagai langkah maju dalam sebuah proses hukum.
“Ya ini saya dukung karena kemajuan (hukum) memang harus begitu. Di negara-negara maju yang sampai level masyarakat tidak bisa menikmati air saja bahkan bisa dimasukkan ke kerugian, lha kita kan baru ini, kerusakan lingkungan dimasukkan ke dalam bagian dari kerugian negara dari orang yang menambang secara korup,” kata Ketua Masyarakat AntiKorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, Senin (24/6/2024.
Menurutnya, langkah ini merupakan langkah maju. “Kita bisa berbanggalah. Jadi bukan hanya berapa yang bisa diambil (dimasukkan dalam kerugian negara) dari mark up sewa smelter ataupun membeli barang sendiri, tapi sampai kerusakan lingkungan juga ditangani. Ini menurut saya langkah yang sangat progresif. Sangat hebat,” paparnya.
Semestinya, lanjut Boyamin, terobosan yang sudah dilakukan Kejakgung harus didukung semua pihak. Sehingga terobosan ini bisa berjalan.
Meski demikian , Boyamin menekankan pentingnya menetapkan besaran kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang dilakukan para tersangka di kasus timah. “Rangkaiannya harus dihitung dengan cermat. Jangan sampai lepas karena (perhitungannya) tidak cermat. Misalnya total kerusakan lingkungan seluruhnya Rp.271 triliun, yang Rp.71 triliun bukan oleh para tersangka tapi pelaku sebelum mereka,. Maka yang Rp.71 triliun jangan dimasukkan ke mereka,” ungkapnya.
Boyamin juga menyarankan agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam penyusunan dakwaan tetap mengutamakan masalah mark up sewa smelter dan pembelian barang sendiri. Meski masalah kerugian negara akibat kerusakan lingkungan juga tetap bisa ditampilkan.
Dalam dakwaan terkait dengan mark up sewa smelter, menurut Boyamin, para tersangka akan sangat sulit untuk bisa berkelit. Namun terkait pembelian timah dari area tambangnya sendiri, menurutnya, bisa memunculkan perdebatan.
“Di sisi lain mereka (tersangka) juga punya alat smelter, lha kalau punya alat smelter ngapain sewa? lebih mahal lagi. Itukan dari sisi hukum susah dihindari,” ungkapnya.