REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV Mantan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, pada Rabu, meminta warganya untuk tidak meninggalkan Israel. Permohonan ini dilayangkan menyusul maraknya eksodus keluar dari negara tersebut sejak 7 Oktober lalu.
“Jangan meninggalkan negara ini,” tulis Bennett dalam unggahannya di media sosial X. Ia menuturkan, beberapa waktu lalu mendengar seorang insinyur perangkat lunak yang jenius mengatakan bahwa ia sekeluarga akan meninggalkan Israel menuju sebuah negara di Eropa sebelum dimulainya tahun ajaran berikutnya pada awal September. “Dan ini membuat saya sangat sedih,” tambahnya.
Dia melanjutkan, Israel saat ini tengah terpuruk, “Kita sedang melalui periode tersulit sejak Perang Kemerdekaan (tahun 1948): boikot internasional, ketakmampuan melakukan pencegahan serangan, 120 warga Israel ditawan, ribuan keluarga yang berduka, Galilea (Israel utara) ditinggalkan, ribuan pengungsi, menteri yang hanya peduli pada diri mereka sendiri, hilangnya kendali atas perekonomian dan defisit anggaran.”
Namun, Bennet menekankan bahwa pembicaraan untuk meninggalkan negaranya tidak boleh terjadi, "dan kita membutuhkan semua bakat dan dedikasi rakyat Israel untuk keluar dari lubang ini."
Kebanyakan warga Israel sedianya bukan warga tempatan. Mereka baru datang berbondong-bondong dari Eropa dan Amerika Serikat semenjak gerakan Zionisme mulai gencar mendorong pendirian negara Israel pada 1930-an. Tak heran, banyak warga Israel memiliki kewarganegaraan ganda dan bisa dengan mudah kembali ke negara asal mereka.
Perang dahsyat belakangan menyebabkan lebih dari 123.000 warga Palestina tewas atau terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan wanita, dan lebih dari 10.000 orang hilang di tengah kehancuran besar-besaran serta kelaparan yang merenggut nyawa puluhan anak-anak.
Tak seperti warga Israel yang kabur, penduduk Gaza teguh bertahan di wilayah yang dibombardir tersebut meski kematian mengancam setiap hari. Mereka hanya berpindah dari wilayah ke wilayah di dalam Jalur Gaza meski sedianya tak ada tempat aman karena hampir seluruhnya sudah dibombardir Israel.
Data dari Otoritas Kependudukan dan Imigrasi Israel mengungkapkan pada Ahad bahwa lebih dari setengah juta warga Israel telah pergi belum kembali sejak dimulainya serangan di Jalur Gaza pada 7 Oktober.
Situs berita Zaman Israel mengatakan bahwa sekitar 550.000 warga Israel pergi dan belum kembali selama enam bulan pertama perang. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah warga Israel yang kembali hingga Paskah tahun ini.
Situs Israel ini menyebutkan bahwa apa yang dianggap sebagai pelarian sementara bagi warga Israel selama perang, atau kesulitan teknis untuk kembali ke sana, kini telah berubah menjadi tren migrasi.
Menurut data terakhir Departemen Statistik pada April lalu, jumlah penduduk Israel adalah 9,9 juta orang, termasuk lebih dari dua juta warga Palestina (yang bertahan tak pergi setelah pengusiran pada 1948), 400.000 warga Palestina di Yerusalem Timur, dan 20.000 warga Suriah di Golan yang diduduki.
Kepergian Israel terjadi sebagai akibat dari perang yang terus-menerus dilancarkan oleh Tel Aviv di Jalur Gaza sejak tanggal 7 Oktober lalu, dengan dukungan mutlak Amerika, yang mengakibatkan sekitar 124.000 orang Palestina menjadi martir dan terluka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita. dan lebih dari 10.000 orang hilang, di tengah kehancuran besar-besaran dan kelaparan yang merenggut nyawa. Puluhan anak.
Sementara itu, ratusan warga Israel berdemonstrasi pada Rabu malam di depan Kementerian Pertahanan di Tel Aviv (tengah), menuntut diakhirinya perang dan segera dilakukannya kesepakatan untuk memulangkan tahanan dari Jalur Gaza.
Surat kabar Ibrani Maariv mengatakan bahwa ratusan orang – termasuk keluarga para tahanan – berangkat dari Habima Square ke Begin Road, tempat Kementerian Pertahanan berada, dan para demonstran menutup Begin Road ke arah selatan. Para pengunjuk rasa mengibarkan spanduk bertuliskan “Hentikan perang”, “Kesepakatan sekarang”, dan “Kembalikan semua korban penculikan”.
Israel melanjutkan perang ini, mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk segera menghentikannya, dan perintah Mahkamah Internasional untuk mengakhiri invasi Rafah, mengambil tindakan untuk mencegah tindakan genosida, dan memperbaiki situasi kemanusiaan yang menyedihkan di Gaza.