REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Walau terbit Agustus 2023, tapi peluncuran buku novel biografi Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi, justru pada moment hebat. Ini, terjadi Ahad (7/7) saat nama ulama besar itu dilekatkan pada Masjid Raya Sumbar.
“Pada 1 Muharram ini, kita resmikan pemberian nama Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi pada masjid raya ini, “ kata Gubernur Sumbar, Mahyeldi.
Pada saat yang sama diluncurkan dua buku tentang Syekh Ahmad Khatib Alminangkabawi. Dua buku itu yakni novel biografi Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi Guru Para Ulama Indonesia yang ditulis wartawan senior Khair Jasmi. Buku kedua dengan judul Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Sumatera Barat yang ditulis budayawan Hasril Chaniago, Bambang Istijono, Gusrizal Gazahar dan Rahmat Irfan Denas.
Buku diluncurkan di hadapan 58 cucu cicit Syekh Ahmad Khatib yang datang khusus dari Saudi Arabia. Juga sanak saudaranya dari Agam, Bukittinggi dan Jakarta.
Buku diserahkan pada keluarga, mantan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Irwan Prayitno dan ketua MUI Buya Gusrizal Gazahar dan tokoh lainnya.
Buku laris yang karya KJ itu pada pekan kemarin tidak ada stok di Padang. Akhirnya terpaksa dipesan ke penerbit. Sejauh itu, sejarah Ahmad Khatib memang belum terkenal seluas sepupunya Haji Agus Salim.
“Saya coba menghidangkan kisah ulama tersebut,” kata KJ.
Ia berpesan pada Gubernur Mahyeldi agar Masjid Syekh Ahmad Khatib dijadikan juga sebagai “rumah intelektual Minangkabau, istilah ini saya dapat dari budayawan Edy Utama,” katanya.
Buku novel bgiografi Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi Guru Para Ulama Indonesia berisikan kisah bagaimana Ahmad sesekali dicibirkan orang, disindir dan dicemooh. Para muridnya yang kebanyakan dari Hindia Belanda merasa jengkel, guru mereka diperlakukan seperti itu, tapi Ahmad tak menghiraukannya.
Walau begitu, sebagai orang asing dari Jawi pula, yang tak pandai bahasa Arab kecuali setelah belajar di Mekkah, Ahmad tetaplah dipandang sebelah mata. Pada suatu malam ia diteriaki, diusir dan lenteranya pecah berderai dipungkang dengan batu. Batu itu selain mengenai lentera, juga hampir hinggap di keningnya.
Bukut dengan 351 halaman tersebut menggambarkan, Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi naik haji pada usia 11 tahun, pulang lalu pergi lagi dan tak pernah kembali ke Tanah Air. Di Tanah Suci ia menjadi guru bagi ribuan orang yang datang dari Nusantara. Ulama ini contoh paling hebat dalam sejarah ulama-ulama yang bermukim di Mekkah.
Dalam novel itu juga diceritakan, setiap pertanyaan ia jawab dengan menulis kitab, setiap kitab dicetak berulang-ulang. Selama di Mekkah tak sedikit yang “membenci”nya karena ia non-Arab. Tapi, sang imam punya singa penjaga, mertuanya, pemuka Kota Mekkah. Jika hari ini kita mengenal ulama-ulama besar, tahu ormas Islam terbesar, maka itulah kerja nyata murid-murid Syekh Ahmad Khatib, pendidik para ulama.
Sedangkan buku Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Sumatera Barat menceritakan perjalanan panjang pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat hingga akhirnya diberi nama Masjid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.