Selasa 16 Jul 2024 15:34 WIB

Makna Toleransi tak Seperti Anggapan Musyrikin Makkah

Kaum musyrik pada zaman Nabi SAW menganggap toleransi sebagai campur aduk akidah.

Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Patung dan berhala di sekitar Kabah. Orang musyrik anggap toleransi sebagai campur aduk akidah.
Foto: Republika
ILUSTRASI Patung dan berhala di sekitar Kabah. Orang musyrik anggap toleransi sebagai campur aduk akidah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Nabi Muhammad SAW, orang-orang musyrik di Makkah sama sekali tidak menoleransi dakwah Islam. Mereka selalu menghalang-halangi Rasulullah SAW dari menyebarkan syiar agama tauhid. Para pemuka Quraisy setempat juga tidak segan-segan menyiksa pemeluk Islam dari kalangan papa dan budak.

Namun, jumlah pengikut agama Islam justru makin bertambah banyak. Nabi SAW juga tidak mundur sedikit pun dari menyampaikan risalah tauhid. Sampai suatu ketika, pemimpin-pemimpin Quraisy merasa pertentangan frontal tidak lagi begitu efektif.

Baca Juga

Ajaran tauhid kian diterima berbagai elemen masyarakat Makkah. Maka, bermufakatlah mereka hendak berunding dengan Rasulullah SAW.

Hal itu tergambar dalam konteks turunnya (asbabun nuzul) Alquran surah al-Kafirun, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar. Perwakilan kaum kafir Quraisy mengusulkan kompromi.