Selasa 20 Aug 2024 08:17 WIB

Hobi Tidur dan Sering Ngantuk? Waspada Tanda Hipersomnia

Lomba tidur nasional yang digelar pada 17 Agustus mencuri perhatian publik.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Penyelenggaraan lomba tidur nasional di Posbloc pada Sabtu (17/8/2024). Kondisi hobi tidur mungkin saja bisa dikaitkan dengan gangguan tidur hipersomnia.
Foto: Dok. Instagram/@yuniar.ds
Penyelenggaraan lomba tidur nasional di Posbloc pada Sabtu (17/8/2024). Kondisi hobi tidur mungkin saja bisa dikaitkan dengan gangguan tidur hipersomnia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lomba Tidur Nasional Vol 1 yang digelar di Pos Bloc pada Sabtu (17/8/2024) mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena lombanya yang unik, publik juga terheran-heran dengan para peserta yang tetap tidur lelap meskipun ada banyak gangguan. Pemenang lomba, Yuniar Dwi Setiawati, bahkan menjuluki dirinya sebagai “Batu Alam” karena memiliki hobi tidur bahkan bisa tetap terlelap ketika ada gempa bumi.

Meskipun terkesan sepele, kondisi “hobi tidur” ini mungkin saja bisa dikaitkan dengan gangguan tidur hipersomnia. Dilansir Healthline, Senin (19/8/2024), hipersomnia merupakan kondisi saat seseorang mengalami rasa kantuk berlebihan terutama di siang hari. Mereka yang mengalami hipersomnia juga dapat tertidur secara berlebih pada malam hari.

Baca Juga

Waktu tidur yang ideal bagi orang dewasa adalah sekitar tujuh hingga sembilan jam setiap malamnya. Namun bagi penderita hipersomnia, mereka mungkin tidur lebih dari 11 jam sehari dan bahkan tetap merasa lelah dan tidak segar.

Kondisi hipersomnia juga dapat memengaruhi suasana hati dan kognisi. Gejala yang umum terjadi meliputi gampang marah; kecemasan, rasa kantuk atau kelelahan yang terus-menerus; nafsu makan yang buruk; energi menurun; kesulitan berpikir atau berbicara; kesulitan mengingat; serta merasa gelisah.

Selain rasa lelah dan kantuk yang kronis, hipersomnia juga dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. Mereka yang mengalami hipersomnia sering kali mengalami kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, hubungan pribadi, atau kewajiban sosial lainnya.

Mirip dengan insomnia, depresi juga dapat terjadi. Namun penderita hipersomnia juga dilaporkan sering mengalami sakit kepala, pusing, serta tangan dan kaki yang dingin.

Hipersomnia terbagi atas dua tipe. Pertama, hipersomnia primer mencakup kondisi seperti narkolepsi, hipersomnia idiopatik, dan sindrom Kleine-Levin. Kedua, hipersomnia sekunder adalah ketika kondisi ini disebabkan oleh kondisi medis yang mendasari, penggunaan obat-obatan atau penggunaan zat, atau bahkan sindrom tidur yang tidak memadai.

Akibatnya, solusi pengobatan untuk hipersomnia dapat bervariasi. Langkah-langkah dasar dapat mencakup mematuhi waktu tidur yang teratur dan menghindari zat-zat seperti alkohol yang dapat memengaruhi tidur serta kognisi.

Untuk orang dengan hipersomnia sekunder, menargetkan kondisi kesehatan yang mendasari adalah tujuan utama. Namun, orang dengan hipersomnia primer mungkin merasa lega dengan mengikuti rencana perawatan yang sama seperti untuk narkolepsi.

Meskipun hipersomnia tidak secara langsung terkait dengan risiko kesehatan yang merugikan seperti hipertensi atau diabetes seperti insomnia kronis, hipersomnia tetap berpotensi melemahkan. Pasalnya, seseorang yang mengalami kantuk berlebihan secara terus-menerus akan mengalami gangguan kognitif yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Dampaknya bisa dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari karir hingga hubungan pribadi. Bahkan rasa kantuk kronis bisa meningkatkan risiko kecelakaan seperti saat mengemudi, serta memperbesar kemungkinan tergelincir atau jatuh.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement