Oleh : DR I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada hari ini, seluruh mata tertuju pada DPR yang sedang melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada).
Pembahasan tentang RUU Pilkada ini menjadi polemik dan perhatian masyarakat karena terkait dengan fenomena agenda Pilkada dan adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Perdebatan terjadi dalam hal adanya Putusan Mahkamah Konsitusi terkait dengan gugatan terhadap Pasal 40 ayat (3) terhadap UU Pilkada. MK telah memberikan putusan yang amarnya:
a. parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan cagub-cawagub dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT hingga 2 juta. DPT dengan 2-6 juta minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 6-12 juta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas 12 juta paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah
b. Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota beserta wakilnya, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftar dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa.
Kemudian DPT dengan 250-500 ribu minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 500 ribu hingga sejuta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas satu juta jiwa paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.
Ketika membaca Putusan MK tersebut, putusan dan pertimbangan ini harmonis dengan aturan tentang calon kepala daerah secara independen. Dalam salinan putusannya, MK menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada juga terkait sehingga perlu untuk diperbaiki.
Putusan MK tersebut dinilai telah memberikan rasa demokratis yakni dengan memberi peluang kepada parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk dapat mencalonkan kepala daerah.
Disamping itu, parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD juga tidak terikat dengan ambang batas tersebut.
Pada kenyataannya, hal ini menimbulkan permasalahan bagi pihak yang berkepentingan atau dalam hal ini dalam lingkaran kekuasaan. Polemik terjadi dalam hal pencalonan Gubernur DKI Jakarta, oleh partai DI luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ada di DPRD DKI Jakarta, yang pada saat itu belum cukup mencapai ambang batas.
Dengan adanya putusan MK, terbukalah peluang beberapa calon gubernur untuk dapat dicalonkan dari partai yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta di luar KIM. Harapan muncul untuk mendudukan seorang calon gubernur sebagai lawan dari koalisi besar yang tadinya hanya sebagai calon tunggal atau melawan kotak kosong.
Akan tetapi anehnya, DPR...