REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hikayat Prang Sabi merupakan karya Teungku Chik Pante Kulu, sastrawan Aceh kelahiran tahun 1836. Penyair ini menulis sajak tersebut dalam perjalanannya pulang dari Jeddah (Arab Saudi) ke Pulau Pinang (kini Malaysia).
Prof Ali Hasjmy dalam artikelnya di buku Seulawah: Antologi Sastra Aceh (1995) menyimpulkan, teks prosa-liris tersebut menginspirasi rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Kehebatan Hikayat Prang Sabi bisa dilihat dari jumlah baitnya yang sekurang-kurangnya menyamai Iliad dan Odyssey karya penyair Yunani Kuno, Homer.
Imran T Abdullah dalam artikelnya, "Peranan Penulis-Penulis Islam Dalam Membentuk Kepribadian Ummah", menggolongkan Hikayat Prang Sabi ke dalam bentuk sastra perlawanan. Muaranya pada mobilisasi rakyat Aceh untuk menghalau kekuatan kolonial Belanda. Imran menjabarkan beberapa poin penting dari teks Hikayat Prang Sabi.
Pertama, rakyat diajak untuk berintrospeksi diri. Kedua, Hikayat Prang Sabi menyebutkan bahwa kedatangan kaum kafir, yakni kolonial Belanda, sebagai penanda bahwa dunia akan menjumpai hari kiamat.
Karena itu, rakyat Aceh diimbau untuk segera bertobat. Ketiga, dengan berperang melawan Belanda, maka terbuka pintu tobat itu. Terjun ke medan jihad merupakan ibadah yang paling utama dengan pahala yang berlipat ganda.
Keempat, rakyat Aceh yang mati syahid di medan pertempuran akan mendapatkan nikmat surga, sesuai dengan janji Allah. Adapun bagi mereka yang mengabaikan panggilan jihad, maka murka dan kutukan dari Allah menantinya.
Terakhir, Hikayat Prang Sabi melukiskan bahaya bila sampai orang kafir menguasai negeri Aceh. Sebab, kaum yang memusuhi Islam ini akan menerapkan hukum-hukum yang tak bersumber dari Kitabullah.
"Disuruh ibadat tak pernah alpa, memerangi kafir tiada reda;
Ibadat utama hanya perang sabil, tiada yang lain padanannya;
Firman Tuhan Rabbul Jalil, Hadith Nabi Sayidil Anbia;
Jalan terbaik menghadap Rabbi, hanya perang sabil lain tiada;
Begitu wasiat Sayidil Anbia, disuruh lawan kafir Belanda.
Jikalau mati dalam peperangan, bersama junjungan dalam surga;
Muhammad Amin sangat penyayang, di akhirat tuan sangat setia;
Hingga nanti kala kiamat, tak usah diingat semua perkara;
Waktu dibangkitkan oleh Tuhan, Jibrail turun ke dunia;
Membangunkan Sayidil Insan, perintah Tuhan pada Sayidina."
Demikian kutipan terjemahan Hikayat Prang Sabi seperti dikutip Ali Hasjmy. Di dalamnya, bukan hanya tergurat ajakan mulia untuk berjuang membela Islam dan Tanah Air, tetapi juga kerinduan pada sosok Nabi Muhammad SAW. Itulah patriotisme sejati dalam Islam.