REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa mulia akhlak para sahabat Nabi SAW! Mereka hidup bersama Rasulullah SAW dan mampu meneladani perikehidupan beliau shalallahu 'alaihi wasallam. Rasa cinta mereka kepada iman dan Islam melampaui urusan dunia.
Di antara para sahabat yang mulia, tersebutlah Abu Dzar al-Ghifari. Sosok ini memiliki nama asli Jundub bin Junadah bin Sakan. Sebelum masuk Islam, ia dikenal sebagai seorang perampok. Maklum, kaum tempatnya lahir dan tumbuh besar mencari penghidupan dengan cara merampok.
Namun, sejak kecil hingga remaja Jundub cenderung pada kebenaran. Ia membenci praktik ritual penyembahan terhadap berhala-berhala. Karena itu, begitu mengetahui adanya seorang Nabi di tengah bangsa Arab, ia pun langsung menuju ke kota yang dimaksud. Di Makkah, ia berjumpa dengan Rasulullah Muhammad SAW dan seketika menyatakan diri Muslim.
Jundub alias Abu Dzar al-Ghifari dengan setia mendampingi Rasul SAW, baik di Makkah maupun Madinah. Sesudah beliau wafat, Abu Dzar dikenal sebagai seorang yang alim dan menjalani kehidupan zuhud.
Di masa tuanya, ia tinggal di sebuah kampung kecil bernama Rabadzah. Menjelang ajal menjemputnya, ia hanya didampingi istrinya yang menangis tersedu-sedu.
"Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?'' tanya Abu Dzar.
Istrinya menjawab, "Anda akan meninggal, tetapi kita tak punya sehelai kain pun untuk kafanmu."
Mendengar jawaban itu, Abu Dzar hanya tersenyum. Setelah itu, ia meninggal dunia.
Tidak lama kemudian, datanglah serombongan Mukminin yang dipimpin sahabat Abdullah bin Mas'ud. Melihat sesosok jenazah sudah terbujur kaku dalam kondisi yang cukup menyedihkan itu, air mata Ibnu Mas'ud pun meleleh lebat.
Rupanya, ia mengenal betul siapa sosok yang wafat itu, seraya berkata, "Benarlah prediksi Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan sebatang kara!''
Itulah akhir hayat Abu Dzar, sahabat Nabi yang terkenal gemar mengampanyekan hidup sederhana,
Sepanjang hayatnya, ia dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan pribadi. Sikap kritisnya sering membuat merah telinga para pejabat saat itu.
Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling, ia menanyakan harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Syiria. Syiria memang wilayah paling makmur, sekaligus jauh dari Madinah ketika itu.
Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah pertanian di sana. Sambil mengutip Alquran surah at-Taubah ayat 24-35, Abu Dzar kerap mengingatkan para pejabat yang bergelimang kemewahan, "Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika api neraka!''
Mendengar nasihat ini, Muawiyah resah. Ia merasa terancam dengan kehadiran Abu Dzar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk meminta agar Abu Dzar dipanggil pulang ke Madinah.
Permintaan itu dikabulkan. Abu Dzar pun kembali ke Madinah. Di Kota Nabi itu, ia akhirnya dipinggirkan.
Demikianlah, nasib para pejuang yang lantang membela kebenaran dan kritis kepada penguasa--memang selalu tragis. Sejarah mencatat, berupaya keras memperjuangkan nasib rakyat lemah sering berakhir dengan keadaan dikucilkan. "Hidup seorang diri, mati seorang diri, dan kelak dibangkitkan seorang diri pula." Inilah nubuat yang telah disampaikan Nabi SAW perihal sahabatnya yang gemar hidup zuhud dan lugas itu!