REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta berharap agar Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Yogyakarta yang mengatur pengendalian dan pengawasan minuman keras (miras), serta pelarangan minuman oplosan segera dirampungkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan DPRD Kota Yogyakarta.
Hal ini mengingat dasar hukum yang digunakan dalam pengawasan, pengendalian, dan penindakan miras masih menggunakan Perda Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 1953 tentang Izin Penjualan dan Pemungutan Pajak Miras.
Anggota Forpi Kota Yogyakarta, Baharuddin Kamba mengatakan, Perda Nomor 7 Tahun 1953 tersebut sudah berumur 71 tahun. Artinya, kata Kamba, aturan itu sudah sangat usang, sehingga dapat berdampak pada belum optimal dan maksimalnya pengawasan, pengendalian, dan penindakan terhadap miras, termasuk miras oplosan.
“Sehingga perlu adanya pembaharuan regulasi guna pengawasan, pengendalian, dan penindakan terhadap miras dapat berjalan efektif, dan optimal. Harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat ini,” kata Kamba, Ahad (29/9/2024).
Kamba menyebut, raperda miras ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang belum dirampungkan oleh anggota DPRD Kota Yogyakarta periode 2019–2024 lalu. Untuk itu, pihaknya berharap agar raperda tersebut segera dirampungkan pada dewan periode 2024–2029 bersama pemerintah.
“Jika raperda tentang miras sudah masuk tahapan pembasahan prioritas di legislatif, idealnya tidak perlu butuh waktu lama untuk merampungkan raperda miras tersebut,” ucap Kamba.
Dengan rampungnya raperda miras ini, katanya, maka petugas yakni Satpol PP Kota Yogyakarta bisa optimal dan maksimal dalam hal pengawasan, pengendalian, dan penindakan miras sebagai penegak perda.
Meski begitu, ia juga meminta agar petugas tetap menggencarkan pengawasan, pengendalian, dan penindakan miras ini sembari menunggu raperda dirampungkan.
“Menunggu raperda miras dirampungkan, maka pihak Pol PP Kota Yogyakarta tidak kendor untuk melakukan pengawasan, pengendalian, dan penindakan terhadap miras yang melanggar aturan. Ajak stakeholder terkait, misalnya kalurahan dan kemantren sebagai penanggung jawab wilayah,” ungkapnya.