REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Samsul Ma’arif Mujiharto [[email protected]], Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Pendiri-Pengasuh Pondok Pesantren Afkaaruna & Afkaaruna Islamic School, Yogyakarta
Dalam khazanah Jawa, kata guru merupakan tafsir akronimik dari “bisa digugu lan ditiru” yang artinya bisa dipercaya dan diteladani. Namun demikian, di balik ungkapan tersebut, terkandung di dalamnya isu moral yang tidak bisa dilepaskan dari aktivitas guru; mengajar.
Mengajar, sebagaimana aktivitas sosial lainnya tidak berada di ruang hampa, tapi terjebak di tengah kepungan kontestasi nilai (baca: value-laden). Mengajar kemudian menjadi fenomena multidimensional karena guru didesak oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi, di antaranya faktor filosofis, psikologis, ekonomis, sosiologis, historis-politis dan lain-lainnya.
Memahat Moral
Alan Tom, seorang guru besar bidang pendidikan pada North Carolina University at Chapel Hill, pada 1980, menulis sebuah artikel Teaching as Moral Craft: a Metaphor for Teaching and Teacher Education. Tom dalam tulisannya tersebut secara kritis merefleksikan pemikiran yang berkembang di masanya.
Di penghujung 1980-an, banyak pemikir meletakkan pendidikan seperti fenomena alam dan perlu didekati dengan pola kerja ilmu kealaman. Konsekuensinya, hukum alam dengan variabel logis yang ketat merupakan solusi terbaik untuk menjawab persoalan pendidikan.
Berbeda dengan kebanyakan kolega di masanya, Tom justru pesimistis seraya menyangsikan kemungkinan untuk menemukan hukum alam dalam dunia pendidikan. Sebaliknya, mendidik harus dilihat sebagai moral craft yang di dalamnya terdapat aktivitas moral yang kreatif yang mengoptimalkan kapasitas reflektif oleh seorang guru.
Menurutnya, pendidikan moral di sini bukan dalam pengertian pendidikan moral sebagaimana dalam kajian pendidikan. “Pendidikan itu sendiri secara fundamental adalah moral itu sendiri”, tegasnya.
Setidaknya ada dua alasan kenapa mengajar dianggap sebagai aktivitas moral. Pertama dan ini argumen klasik yang didasarkan pada premis bahwa dalam proses mengajar terdapat dua atau lebih pihak yang terlibat.
Interaksi antar pihak menyebabkan setiap tindakan guru berpotensi memiliki dampak baik (good) maupun buruk (evils). Inilah yang menjadikannya sebagai isu moral dan menjustifikasi sebuah tindakan dengan kategori baik-buruk merupakan doing morality!
Kedua guru selalu memiliki intensi untuk membedakan sesuatu dengan kategori baik-dan-buruk, minimal mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Dan ini yang disebut indikator perilaku moral.
Pada profesi lain, indikator perilaku moral ditimbang dengan nilai utama, misalnya: efektivitas dan efisiensi. Pada aktivitas mengajar nilai utama bisa lebih kompleks, di antaranya: keadilan dan kewajaran, integritas, kejujuran, kasih-sayang, kesabaran, tanggung jawab, dan lain-lainnya.
Agen Moral
Buzzelli dan Johnston (2002: 118), melengkapi pendapat Tom di atas, berpendapat, “mengajar pada dasarnya adalah sebuah aktivitas moral, ruang kelas merupakan tempat interaksi moral, dan guru adalah agen moral”. Menurutnya, “mengajar – kelas – guru” harus dilihat sebagai sebuah kesatuan mata rantai aktivitas moral yang utuh dengan guru sebagai agen moralnya.
Sebagai agen moral, guru harus memiliki kesadaran penuh untuk menentukan pilihan perkataan dan perbuatan berdasarkan potensi dampak yang ditimbulkan dari pilihannya tersebut. Kesadaran ini makin diperlukan ketika keputusan tersebut menyangkut kesejahteraan (well-beings) pihak lain, terutama murid.
Mengacu pada definisi tersebut, agen moral memiliki komitmen ganda. Di satu sisi, guru terikat dengan standar moral yang dipegang oleh guru sebagai agen moral. Di lain sisi, guru sebagai pendidik harus menjadi model dan suri-tauladan moral.
Guru dipandang sebagai entitas “hidup” (living) sejajar dengan prinsip normatif yang diharapkan menjadi panduan murid untuk bertindak. Konsekuensinya, tindakan, perkataan, perilaku dan sikap guru harus sebangun, dan untuk mencapai kesebangunan itu otonomi guru mutlak diperlukan.