Rabu 16 Oct 2024 22:38 WIB

Pemanfaatan Biomassa untuk Co-Firing di PLTU Bisa Jadi Peluang Ekonomi bagi Masyarakat

Co-firing dapat mendukung ekonomi lokal melalui pengolahan limbah pertanian.

PLTU Cirebon (ilustrasi). Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar campuran di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memdukung transisi energi.
Foto: Dok Cirebon Power
PLTU Cirebon (ilustrasi). Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar campuran di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memdukung transisi energi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Gadjah Mada Defiyan Cori menyoroti pentingnya pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar campuran di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tidak hanya mendukung transisi energi yang lebih bersih, biomassa juga memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal.

"Co-firing yang merupakan proses mencampur biomassa dengan batu bara di pembangkit listrik berbahan bakar fosil itu dapat menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekonomi lokal melalui pengolahan limbah pertanian, kehutanan, atau perkebunan,” katanya melalui kwterangan, Rabu (16/10/2024).

Baca Juga

Co-firing, lanjut Defiyan, tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Bahan biomassa diolah dari limbah pertanian yang dijual oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

“Ketika masyarakat menyadari nilai ekonomis dari limbah yang mereka hasilkan, maka bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sekaligus berkontribusi pada pengurangan emisi karbon,” katanya.

Untuk itu, Defiyan merekomendasikan agar pemerintah memberikan dukungan berupa subsidi dan insentif, sehingga biomassa tetap kompetitif di pasar domestik. Pasalnya, pada 2022 saja, Indonesia telah mengekspor sekitar 500 ribu ton pelet kayu dan 4,5 juta ton cangkang sawit.

“Jika harga dalam negeri lebih menarik, bahan-bahan ini bisa dimanfaatkan untuk co-firing di dalam negeri,” imbuhnya.

Defiyan menegaskan bahwa dengan dukungan yang tepat, co-firing tidak hanya bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Dengan demikian, pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, perlu mengambil langkah proaktif untuk memperluas penerapan teknologi tersebut sebagai alternatif dari impor energi, yang selama ini telah menguras devisa negara.

“Hal itu bisa sebagai alternatif dari impor minyak dan BBM yang hingga pertengahan 2024 telah menguras devisa sebesar Rp 126,4 triliun,” pungkasnya.

Sebagai catatan, saat ini mayoritas PLTU telah menggunakan teknologi co-firing, yang mencampurkan batu bara dengan sumber energi terbarukan seperti serbuk gergaji, sekam padi, dan cangkang sawit. 

Pada 2023, pemanfaatan biomassa dalam co-firing menunjukkan hasil yang signifikan. Dengan mengurangi emisi karbon hingga 1,05 juta ton CO2 dan meningkatkan produksi energi sebesar 1,04 terawatt jam (TWh), Angka tersebut meningkat 77 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement