REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Israel dideklarasikan pada tahun 1948, sekitar 685 ribu imigran Yahudi sudah membanjiri wilayah Palestina. Pada akhirnya, kedatangan orang-orang Yahudi secara sistematis mengusir orang-orang Arab (Palestina) dari tanah airnya sendiri. Demikian uraian PR Kumaraswamy dalam bukunya yang ensiklopedis, The A to Z of the Arab-Israeli Conflict.
Gelombang imigran Yahudi di Palestina diistilahkan sebagai aliyah. Ini lantas menjadi okupasi yang dimotori idologi zionisme politik.
Ideologi tersebut mengatasnamakan visi kerinduan kalangan mistikus Yahudi yang berabad-abad lamanya melangsungkan tradisi ziarah ke Yerusalem (Baitul Makdis). Berbeda dengan zionisme politik, kaum mistikus itu datang ke tanah suci tanpa niatan merampas tanah atau menjajah. Mereka hanya concern pada kepercayaan akan datangnya Sang Juru Selamat di bukit Zion kelak pada akhir zaman.
Dengan demikian, zionisme yang diterapkan Israel berbeda daripada zionisme keagamaan sebagaimana para salik Yahudi silam. Sejarawan Prancis, Roger Garaudy (1913-2012), membedah perbedaan esensial ini di dalam bukunya, The Case of Israel.
Tokoh kunci di balik ideologi zionisme politik adalah Theodor Herzl (1860-1904). Empat belas tahun setelah peristiwa aliyah pertama, mantan jurnalis itu menerbitkan kumpulan tulisan, Der Judenstaat (Negara Yahudi). Dia merasa perlunya pendirian sebuah negara Yahudi sebagai tanah air bagi kaum Yahudi yang hidup berdiaspora sebagai minoritas di penjuru dunia.
Der Judenstaat menjadi rujukan utama dalam Kongres Zionis Internasional Pertama yang digelar di Basel, Swiss, pada 1897. Hasil kongres ini, antara lain, adalah pembentukan Organisasi Zionis Internasional dengan Herzl selaku presiden pertamanya.
Tanpa ragu, Herzl menunjuk wilayah Palestina sebagai lokasi kelak berdirinya negara Yahudi. Hal ini tidak berarti bahwa ia termasuk kalangan religius, sebagaimana kaum agamis lainnya yang merindukan Sang Juru Selamat di bukit Zion.
Alih-alih demikian, menurut Garaudy, Herzl semata-mata memakai simbol keagamaan Yahudi untuk memuluskan suatu ambisi politik. Lebih lanjut, penulis Prancis itu menegaskan Herzl bukanlah seorang Yahudi, melainkan agnostik.
Herzl lantas memanfaatkan relasinya yang luas dengan tokoh-tokoh internasional, baik Yahudi maupun non-Yahudi. Der Judenstaat sempat dibawanya kepada Baron Edmond de Rothschild.
Awalnya, bankir raksasa yang berdarah Yahudi ini menolak gagasan Herzl karena dinilainya terlalu berisiko. Herzl lantas menunjukkan proposalnya ini kepada bankir Prancis keturunan Yahudi, Maurice de Hirsch. Di satu sisi, de Hirsch setuju dengan perlunya tanah air bagi kaum Yahudi di abad ke-20. Namun, di sisi lain dia menyarankan Herzl agar lokasinya bukan Palestina, melainkan Argentina.
View this post on Instagram