REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Media Axios pada Kamis (2/1/2025) melaporkan bahwa, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan telah mengajukan rencana kepada Presiden Joe Biden terkait kemungkinan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran sebelum masa jabatan Biden berakhir pada 20 Januari. Axios mengutip sebanyak tiga sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Sedangkan pertemuan yang sebelumnya tidak diketahui publik dan berlangsung beberapa pekan lalu serta diarahkan Sullivan itu disebut merupakan bagian dari "perencanaan skenario yang bijaksana," bukan dimaksudkan untuk menghasilkan keputusan melakukan serangan, ujar seorang pejabat AS.
Pejabat itu menambahkan, tidak ada perkembangan baru yang memicu untuk menggelar lagi pertemuan semacam itu. Biden dan timnya mendiskusikan beberapa opsi dan skenario untuk respons AS jika Iran mempercepat program nuklirnya, seperti memperkaya uranium hingga tingkat kemurnian 90 persen, kata pejabat tersebut.
Pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusan spesifik, juga tidak dimaksudkan untuk itu, tambahnya. Saat ini, juga tidak ada diskusi di Gedung Putih mengenai kemungkinan aksi militer terhadap Iran.
Sumber itu juga menyebutkan bahwa Sullivan dan beberapa pendukung Biden lainnya percaya bahwa melemahkan pertahanan udara Iran serta melemahkan sekutu Teheran di kawasan dapat meningkatkan peluang keberhasilan serangan dan mengurangi risiko serangan balasan.
Rafael Grossi, kepala badan pengawas nuklir PBB, IAEA, sebelumnya telah mengunjungi Iran pada November untuk bertemu dengan pejabat tinggi setempat, serta menginspeksi sejumlah fasilitas nuklir yang terdapat di Fordow dan Natanz. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk menilai kemajuan dalam pelaksanaan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Presiden Iran Masoud Pezeshkian meyakinkan Grossi bahwa Teheran tidak akan membuat senjata nuklir. Sebelumnya pada 2015, Inggris, Jerman, China, Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis menandatangani kesepakatan dengan Iran yang memberikan pelonggaran sanksi dengan imbalan pembatasan pada program nuklir Iran.
Namun, Amerika Serikat menarik diri dari JCPOA pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran, yang kemudian mengumumkan pengurangan bertahap atas komitmen Teheran terhadap aktivitas penelitian nuklir dan pengayaan uranium.