Selasa 07 Jan 2025 23:10 WIB

Perjanjian Faisal-Weizmann, Main Mata Arab Saudi-Zionis yang Berujung Penyesalan Sang Raja

Raja Faisal menyesal telah melakukan perjanjian dengan Zionis

FILE - Palestinian villagers who fled from their homes during fighting between Israeli and Arab troops, on Nov. 4, 1948. (
Foto: AP Photo/Jim Pringle, File
FILE - Palestinian villagers who fled from their homes during fighting between Israeli and Arab troops, on Nov. 4, 1948. (

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Perjanjian Faisal-Weizmann merupakan upaya awal untuk menyatukan ambisi Arab dan Zionis di Palestina.

Ditandatangani selama Konferensi Perdamaian Paris pada 1919, perjanjian ini akhirnya memiliki dampak yang langgeng di wilayah tersebut, membuka jalan bagi pemindahan penduduk Palestina dan konflik serta pendudukan selama beberapa dekade, yang terus berlanjut hingga hari ini.

Baca Juga

Ya, perjanjian tersebut dikenal dengan Perjanjian Faisal-Weizmann yang terjadi pada 3 Januari 1919 di Paris, Prancis.  Apa yang terjadi?

Dikutip dari Middle East Monitor, Selasa (7/1/2025), ketika membahas akar masalah Palestina, banyak orang cenderung berfokus pada Nakba (“Bencana”) 1948, ketika ratusan ribu orang Palestina secara paksa diusir dari tanah air mereka.

Sebagian orang lainnya menunjuk pada Deklarasi Balfour 1917 yang terkenal sebagai momen penting, yang meletakkan dasar bagi pendirian negara Zionis di tanah Palestina yang bersejarah.

Namun, sebuah peristiwa yang kurang dikenal namun sangat penting terjadi hanya dua tahun kemudian: penandatanganan Perjanjian Faisal-Weizmann pada1919, yang bertujuan untuk mendamaikan ambisi Arab dan Zionis yang akan memiliki konsekuensi besar bagi wilayah tersebut.

Ditandatangani pada 3 Januari 1919 selama Konferensi Perdamaian Paris, perjanjian tersebut merupakan pakta antara Pangeran Faisal dari Kerajaan Hejaz yang hanya berumur pendek - putra Sharif Hussein dari Makkah dan seorang pemimpin terkemuka dalam gerakan nasionalis Arab - dan Chaim Weizmann, Presiden Organisasi Zionisme Dunia.

Faisal setuju untuk mendukung implementasi Deklarasi Balfour dan pembentukan tanah air Yahudi di Palestina, asalkan Inggris memenuhi janji-janjinya pada Perang Dunia Pertama untuk kemerdekaan Arab dari kekuasaan Ottoman.

Perjanjian tersebut menguraikan kerja sama antara Arab dan Yahudi, yang membayangkan hidup berdampingan secara damai di Palestina dan kolaborasi ekonomi yang lebih luas di wilayah tersebut.

Hal ini diungkapkan oleh para penandatangan yang menyatakan bahwa mereka “menyadari kekerabatan rasial dan ikatan kuno yang ada di antara bangsa Arab dan Yahudi, dan menyadari bahwa cara paling pasti untuk mewujudkan aspirasi alamiah mereka adalah melalui kerja sama yang paling dekat dalam pengembangan Negara Arab dan Palestina.”

Namun, premis yang mendasarinya - bahwa aspirasi nasionalisme Arab dan Zionisme dapat hidup berdampingan secara harmonis - pada dasarnya cacat.

photo
Menguatnya Dakwaan Genosida - (Republika)

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement