REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pihaknya masih menakar untung-rugi bagi Indonesia memasok minyak dari Rusia. Usai bergabung dengan aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS), Indonesia disinyalir memiliki peluang mengakses minyak Rusia dengan harga yang lebih murah.
"Sepanjang itu menguntungkan Republik Indonesia, bisa kita bicarakan. Kalau kita dapat lebih murah 20 dolar AS atau 22 dolar AS, kenapa tidak?" kata Luhut usai konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Kendati begitu, Luhut mengatakan, Indonesia akan tetap menyikapi kebijakan itu dengan hati-hati. "Tentu kami hati-hati melihat ini dengan baik," tutur mantan menko kemaritiman dan investasi tersebut.
Peluang RI menyuplai minyak Rusia dengan harga lebih murah, salah satunya diungkapkan oleh Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat. Dia berpendapat, keanggotaan BRICS membantu Indonesia mendapatkan potensi keuntungan khususnya dalam mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas).
Hal itu menimbang posisi Rusia sebagai salah satu produsen minyak mentah utama dunia yang tengah menghadapi embargo dari beberapa negara Barat. Selain itu, Achmad juga menyoroti peluang kolaborasi yang lebih luas di sektor energi.
"Keuntungan utama dari perdagangan minyak dengan Rusia adalah potensi harga yang lebih murah dibandingkan harga pasar internasional. Embargo Barat terhadap minyak Rusia telah mendorong negara tersebut untuk menawarkan minyaknya ke pasar non-Barat dengan diskon yang signifikan," ujar Achmad.
Kerja sama kedua negara dapat membuka jalan untuk investasi dalam infrastruktur energi, pengembangan teknologi, dan transfer pengetahuan. Langkah itu mampu mendukung diversifikasi energi Indonesia dalam jangka panjang.
Namun, Achmad mengingatkan bahwa kerja sama itu tidak terlepas dari risiko. Mengingat adanya embargo dan sanksi yang diterapkan negara-negara Barat terhadap Rusia, salah satu tantangan utama adalah terbatasnya akses Rusia ke sistem pembayaran global seperti SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang dapat menyulitkan transaksi perdagangan.