REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi XI DPR RI meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunda penerapan skema pembagian risiko (co-payment) untuk produk asuransi kesehatan komersial. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam Rapat Kerja bersama OJK di Jakarta, Senin (30/6/2025), menyatakan pihaknya mendukung langkah-langkah OJK dalam memperkuat ekosistem asuransi kesehatan serta menciptakan keseimbangan manfaat antara pemegang polis dan industri asuransi.
Namun, terkait skema co-payment yang disebut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025, ia berharap pelaksanaannya ditunda hingga diberlakukannya aturan lanjutan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang telah dikonsultasikan dengan Komisi XI DPR.
“Kita masih ada waktu setengah tahun, sehingga pada waktu itu kita menganggap sudah cukup waktu kita untuk konsolidasi dari sisi kebijakan dan ke masyarakat,” ujar Misbakhun.
Ia memastikan Komisi XI DPR melaksanakan partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam rangka menyerap aspirasi dari pihak yang berkepentingan tentang pengaturan Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
“Ini dalam rangka ingin memberikan penguatan terhadap apa yang akan diputuskan oleh OJK,” tambah dia.
Menanggapi itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan aturan yang disiapkan oleh OJK telah mencakup penguatan ekosistem asuransi kesehatan di berbagai lini.
Aturan mengenai co-payment merupakan salah satu penguatan yang dilakukan dari sisi pemegang polis, bersamaan dengan pengaturan Coordination of Benefit (CoB) untuk pemegang polis yang juga memiliki kepesertaan aktif di BPJS Kesehatan.
Selain dari sisi pemegang polis, OJK juga mengatur penguatan dari sisi fasilitas kesehatan serta perusahaan asuransi.
“Sebenarnya (SEOJK) mengatur berbagai hal ini. Tapi, bila dari Komisi XI DPR maksudnya adalah ekosistem tadi bisa efektif berjalan dan ada langkah-langkah mengundang pihak terkait dan bagian dari ekosistem, kami dapat memahami dan menyetujui,” ujar Mahendra.
Dia menambahkan OJK melihat urgensi kebijakan ini segera diterapkan mengingat situasi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah demografi dividen yang secara bertahap bergerak menuju penuaan penduduk (aging society).
Artinya, pengguna jasa kesehatan dan asuransi kesehatan akan terus meningkat, sedangkan yang menanggung akan terus berkurang.
“Jadi, makin lama kita menyelesaikan persoalan ini, makin besar semacam bom waktunya, sampai kita tidak punya kendali lagi. Jadi kita perlu betul-betul memanfaatkan waktu yang sempit tadi sehingga ekosistemnya kita perkuat betul,” tutur dia.
Sebagai catatan, OJK menyebut penerapan co-payment produk asuransi kesehatan komersial menjadi salah satu upaya untuk menekan inflasi medis agar tak menjadi ancaman bagi perekonomian. Skema ini pun ditujukan untuk menekan biaya premi agar lebih terjangkau.
Penerapan co-payment paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan.
Namun, terdapat batas maksimum nilai klaim yang dapat diajukan, yakni sebesar Rp300 ribu per pengajuan untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta per pengajuan untuk klaim rawat inap.
SEOJK yang mengatur kebijakan itu direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Namun, untuk asuransi eksisting, OJK memberikan waktu penyesuaian paling lambat hingga 31 Desember 2026.