Ahad 21 Sep 2025 08:40 WIB

Fatimah binti Yahya, Muslimah yang Ahli Fikih

Untuk menjadi seorang mujtahidah bukan perkara yang mudah.

Ilustrasi Muslimah
Foto: Pixabay
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH --Ada kisah menarik yang berasal dari seorang Muslimah ahli fikih bernama Fatimah binti Yahya. Kisah ini diceritakan Bintus Sabil dalam bukunya yang berjudul Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya. 

Fatimah binti Yahya adalah seorang mujtahidah abad ke-9. Mujtahidah (bentuk feminin dari mujtahid) adalah seorang ulama yang cakap yang dapat membuat deduksi (menarik kesimpulan) dari sumber-sumber hukum Islam. 

Baca Juga

Pada gilirannya, mereka menggunakan kesimpulan ini untuk memberikan hukum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan seseorang dari masyarakat.

Bagi orang yang diberi gelar mujtahidah harus memiliki ilmu ijma para sahabat dan yang menyelisihinya, para pengikut mereka (tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan ulama-ulama fikih dan mujtahid yang terkemuka. 

Karenanya untuk menjadi seorang mujtahidah bukan perkara yang mudah, namun Fatimah binti Yahya pantas mendapatkannya. Sedemikian ilmunya, sehingga ayahnya, seorang ulama yang juga memiliki banyak murid , ditanya Fatimah berkenaan dengan beberapa perkara fikih. 

Ulama besar asy-Syaukani berkata mengenai dirinya: “Dia sangat dikenal karena ilmunya. Dia telah mendebat ayahnya dalam beberapa perkara fikih.

Ayahnya, sang imam, membenarkan bahwa Fatimah melakukan ijtihad dalam menarik kesimpulan hukum. 

Hal ini menunjukkan akan kelebihan ilmunya, karena sang imam tidak akan berkata demikian kecuali bagi orang yang pantas mendapatkannya.” (Asy-Syaukani, al-Badr at-Tali, II, 24.) 

Ayahnya menikahkannya dengan seorang ulama Al-Mutahar ibn Muhammad Sulaiman ibn Muhammad (wafat tahun 879H). 

Al-Mutahar sangat beruntung karena kapanpun dia bimbang dalam suatu perkara, dia akan merujuk kepada istrinya untuk menilai perkara fikih yang sulit.  

Bahkan di tengah-tengah para muridnya, ketika dia terbentur pada sebuah perkara yang rumit, dia akan bangkit lalu menuju ke balik tirai, dimana sang mujtahidah duduk di baliknya.  

Ketika dia kembali dengan jawaban, murid-muridnya berkata: “Ini bukan darimu, melainkan dari orang yang berada di balik tirai.” (al-Hibasyi, Mu’jam an-Nisa al-Yamaniyah, 149)

 

sumber : Dok Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement