REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Maraknya penggunaan penguat sinyal (repetear) belakangan meresahkan publik pengguna layanan seluler, termasuk pemirsa radio dan televisi. Kasus yang sama terjadi pada saat dilakukan pengacakan sinyal (jamming) di suatu lokasi.
''Bila menghadapi masalah ini, silakan melapor ke Balai Monitoring Frekuensi Radio dan Satelit, kami akan menindaklanjuti laporan masyarakat,'' kata Kepala Balai Monitoring Frekuensi Radio dan Orbit Satelit,Bandung, Hercules Sitorus di Grapari Mobile Lifestyle Bandung, Rabu (17/9).
Hercules menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat. ''Sebagai perpanjangan tangan Kominfo tugas kami melindungi kepentingan masyarakat. Kami juga membawa penyidik pegawai negeri sipil (PNNS), kalau ada pelanggaran UU ya harus disidik,'' kata Hercules.
Untuk Bandung pengaduan masyarakat mengenai gangguan frekuensi pada layanan telekomunikasi, radio atau televisi baik karena penguatan sinyal atau pengacakan sinyal tidak banyak. ''Ada dua kasus penguatan sinyal yang kami tangani,'' katanya.
Pihaknya, kata Hercules, juga pernah menangani kasus pengacakan sinyal yang menyebabkan masyarakat tidak bisa menikmati layanan telekomunikasi. ''Kamus ini pernah terjadi di Lapas Sumedang,'' kata Hercules.
Pengacakan atau penguatan sinyal dilakukan baik oleh pribadi maupun instansi. Hal ini berdampak pada layanan telekomunikasi, radio atau televisi akibat adanya inferensi. Inferensi terjadi karena perangkat yang digunakan menganggu perangkat eksisting yang digunakan oleh masyarakat.
''Kami sebenarnya telah melakukan koordinasi dengan pihak terkait mengenai barang apa saja yang boleh dan tidak boleh masuk. Repetear atau pengacak sinyal yang menimbulkan gangguan layanan disebutnya sebagai barang yang seharusnya tak boleh masuk ke Indonesia,'' ujar Hercules.
Tentang sanksi yang bisa dikenakan terhadap tindakan pengacakan sinyal atau penguatan sinyal seara ilegal, Hercules menyatakan bahwa pelakuknya bisa dikenai hukuman pidana dan denda. Ia menunjuk ketentuan pasal 42 huruf a dan b UU NO 39 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.''Pemancar tanpa izin yang bisa menganggu bisa dikenai hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda Rp 600 juta,'' kata Hercules.