REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Isu peretasan bursa uang digital diyakini pertama kali muncul saat seorang pengguna Google yang memiliki laman video melaporkan adanya iklan di Youtube. Laporan tersebut menyebut iklan itu memicu aktivasi piranti anti virus.
Iklan itu juga berisi kode penambangan CoinHive yang berfungsi sebagai malware dan secara diam-diam menyerang 80 persen komputer pusat bursa uang digital tanpa meninggalkan jejak. Google menyatakan layanan iklan mereka dipantau ketat dari kemungkinan malware untuk meretas bursa uang digital. Juru bicara Google mengatakan pihaknya memiliki deteksi berlapis yang mereka perbarui begitu satu ancaman muncul.
''Dalam kasus ini, iklan tersebut kami blokade kurang dari dua jam dan malware kami hapus,'' ungkap Google seperti dilansir Express.co.uk, Senin (29/1).
Perusahaan penyedia produk anti virus, Trend Micro, telah menganalisis serang siber itu dan berhasil mengidentifikasi negara-negara mana saja yang rentan diretas. Trend Micro menyebut negara-negara terdampak persoalan ini termasuk Jepang, Prancis, Taiwan, Italia, dan Spanyol. Temuan ini juga sudah mereka sampaikan kepada Google.
Trend Micro juga mendapati peningkatan hingga 285 persen pengguna CoinHive pada 24 Januari lalu. Trend Micro juga melihat peningkatan aktivitas lima domain berbahaya sejak 18 Januari lalu.
''Setelah kami amati, peningkatan aktivitas itu karena iklan-iklan yang berasal dari DoubleClick advertisements,'' ungkap Trend Micro.
Kian populernya uang digital terutama pada Desember 2017 membuat para penambangnya juga kian banyak. Seiring hal itu, risiko serangan siber bursa uang digital juga terus meningkat.