Jumat 15 Jul 2011 13:27 WIB

68 Persen Hutan Asia Masih Dikuasai Negara, Perlu Dialihkan ke Masyarakat

Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur
Foto: wordpress
Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur

REPUBLIKA.CO.ID, SENGIGI - Kebijakan banyak pemerintahan negara Asia cenderung sentralistik dalam pengelolan kehutanan. Hingga kini 68 persen wilayah hutan masih dikuasai negara. Situasi itu dinilai krusial dalam pengalihan hak penguasaan hutan dari pemerintah kepada komunitas dan warga asli setempat.

Hal itu merupakan salah satu fokus kesimpulan dari penutupan rangkaian Konferensi Internasional Tenurial, Pengelolaan dan Pengusahaan Hutan, di Senggigi, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/7) siang.

Konferensi itu dihadiri 250 peserta dari mancanegara, terdiri atas ahli kehutanan, birokrat terkait kehutanan, masyarakat pemangku hutan, pengusaha perhutanan, dan LSM.

Konferensi di Lombok ini merupakan lanjutan dari konferensi serupa di Brazil pada 2009 dan Kamerun beberapa waktu sebelumnya. Penggagas dan sponsor konferensi ini adalah Kementerian Kehutanan Indonesia, Rights and Resourches Initiative (RRI) dan Organisasi Kayu Tebangan Tropis Internasional (ITTO).

Penutupan konferensi itu dilakukan Koordinator Staf Ahli Menteri Kehutanan, Hadi Pasaribu didampingi Koordinator RRI Andy White, dan Kepala Perwakilan ITTO, Eduardo Mansur, serta Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Pasaribu.

Hak tenurial hutan di seluruh dunia merupakan masalah yang belum selesai pemecahannya dikarenakan banyak faktor, mulai dari landasan hukum dan sejarah pendirian negara serta masyarakat, ekonomi, hingga kemasyarakatan.

Akan tetapi, di balik itu semua sejak lama disadari bahwa permasalahan hak tenurial hutan ini lebih terletak pada dimensi politik kekuasaan negara.

"Ini tidak lepas dari sejarah sistem hukum di banyak negara di Asia, yang kebanyakan adalah warisan dari para kolonialis. Karena itulah kita di Asia harus berani keluar dari belenggu sistem hukum kolonialis itu," kata Koordinator Contreras, Martua Sirait, yang juga menjadi satu penyimpul rangkaian persidangan.

Dalam sambutan penutupan, Mansur menyatakan bahwa masalah hutan terjadi karena ada masyarakat. Jika masyarakat bisa mengambil manfaat sebaik mungkin dari hutan itu maka sebagian masalah bisa ditangani.

Ia juga mengatakan, paradigma masyarakat generasi kini telah berubah kepada orientasi pasar produk yang bisa mereka hasilkan. Dengan begitu basis pendekatan yang bisa dikedepankan adalah keadilan dan penjaminan kesetaraan gender.

"Tidak kalah penting pengenalan tentang masyarakat asli dan komunitas setempat. Pengalaman kami di Brazil menyatakan demikian, sebagaimana terjadi di bagian lain dunia," katanya.

Amerika Latin diketahui telah mampu mengurangi penguasaan luas lahan hutan mereka menjadi hanya tinggal 32 persen saja, bahkan Brazil yang mencakup sebagian besar hutan hujan tropis Amazon, mencapai angka fantastis, yaitu 58 persen dari kawasan hutan mereka.

Sebagai tuan rumah, Pasaribu menegaskan komitmen pemerintahan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait hak tenurial hutan ini.

Masalah hak tenurial di Indonesia cukup khas ketimbang banyak negara lain di dunia karena sejumlah alasan, diantaranya terkait nilai-nilai adat yang berlaku dan pengakuan negara atas hak-hak komunitas itu yang termaktub dalam UUD 1945.

Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto, sektor kehutanan menguasai 70 persen atau 133 Juta hektare lahan dari 190 juta hektare lahan Indonesia. Terlepas fakta itu, produksi hutan hanya menyumbang 0.1 persen dari GDP Indonesia pada 2010.

Merujuk data Kementerian Kehutanan pada 2010, ada 33.000 desa yang sebagian dan seluruhnya berada di dalam kawasan hutan, namun hak-hak masyarakat adat dan lokal tidak diakui.

Menurut dia, kenyataan ini menyebabkan 10 juta orang yang hidupnya tergantung pada hutan hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidakpastian hak masyarakat adat dan lokal juga menyebabkan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan Pemerintah dan Perusahaan yang mendapat konsesi dari pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement