Jumat 14 Dec 2012 14:53 WIB

'Andai Saja Saya Warga Malaysia' (bagian 2)

Red: A.Syalaby Ichsan
Sebatik Island lies in the border of Indonesia and Malaysia. The flags of two countries fly in the tiny island as marine patrolling. (illustration)
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Sebatik Island lies in the border of Indonesia and Malaysia. The flags of two countries fly in the tiny island as marine patrolling. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, Mansyur Faqih (wartawan Republika)

Jangan bicara mengenai nasionalisme di Sebatik.  Republika mencoba bertanya mengenai Indonesia kepada beberapa warga. Hasilnya, cukup mengenaskan. Kebanyakan warga tak tahu siapa presiden dan wakil presiden RI saat ini. Mereka malah semakin panik ketika ditanya mengenai Pancasila dan lagu kebangsaan.

 

Namun ketika ditanya mengenai Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjabat, mereka sigap dan langsung memberikan jawaban yang tepat. Begitu pula untuk urusan sepakbola. Ajang  Asean Football Federation (AFF) Suzuki Cup pun dimanfaatkan warga untuk mendukung Malaysia ,  “Saya sepakbola kemarin (piala AFF) bela Indonesia. Tapi karena kalah, ya bela Malaysia lagi,” tutur Irman.

Nasionalisme kian luntur di masyarakat Sebatik dan tergantikan dengan kebutuhan. Karena Indonesia seakan tak pernah hadir untuk memberikan dan menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut.

Tak heran jika banyak masyarakat Sebatik yang berharap bisa menjadi warga negara Malaysia . Meski pun kini hal itu sulit terjadi karena adanya kebijakan pengetatan bagi warga negara Indonesia untuk memilliki Mykad. Kartu kependudukan Malaysia yang sebelumnya dikenal dengan IC atau Identity Card.

“Kalau ditawari (IC), saya enggak akan pikir, akan saya ambil. Bukan karena apa-apa, tapi di sini itu susah,” tegas Alamsyah.

Pemilik IC, lanjutnya, memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, untuk layanan kesehatan yang terjamin. Lalu sumbangan tahunan yang diberikan untuk setiap warga berpenghasilan Rp 6 juta ke bawah per bulan. Yang tak kalah penting, pendidikan gratis hingga tingkat SMA.

Pemerintah Malaysia, kata Abdul, sangat memperhatikan masyarakatnya. Terutama untuk urusan pendidikan. Bahkan, anak Malaysia hanya perlu fokus belajar. Urusan selebihnya diserahkan kepada pemerintah.   

Anak dan orang tua tak perlu dipusingkan dengan urusan biaya atau bahkan mencari sekolah. Karena semua dilakukan pemerintah. Bahkan, siswa diberikan pinjaman untuk dapat masuk ke perguruan tinggi yang dapat dilunasi ketika mereka lulus.

“Di sana itu anak dicari. Jadi sekolah mendata siswa dan akan menempatkan mereka setelah lulus sesuai otaknya. Setelah lulus pun, mereka dicarikan itu pekerjaan,” ungkap Abdul yang sempat menyekolahkan tiga anaknya di Malaysia hingga tingkat sekolah dasar.

Namun semua itu hanya bisa dinikmati oleh warga negara Malaysia. Ini yang membuat Abdul rela bekerja selama 28 tahun di Malaysia. Harapannya, untuk mendapatkan keistimewaan yang sama dengan warga Malaysia lainnya.

Namun keistimewaan itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia memilih hidup di Sebatik sejak empat tahun silam. Namun, harapannya tetap ada.  Paling tidak,  Pemerintah Indonesia akan memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat Sebatik. Setidaknya, seperti pemerintah Malaysia memperlakukan warga negaranya.

Apalagi saat ini ada wacana untuk meningkatkan Sebatik menjadi sebuah kota sendiri. “Semoga saja pemekaran ini bisa membantu. Karena selama ini banyak pejabat yang datang ke sini dan mendengarkan kita. Tapi setelah itu, tak terjadi apa-apa,” jelas ketua masyarakat NTT di Sebatik Antonius Diaz.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement