Senin 25 Apr 2016 01:00 WIB

RI Diminta Hati-Hati Bahas RUU Ekstradisi dengan Singapura

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Achmad Syalaby
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan (kiri) bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi (kanan) menyampaikan hasil pertemuan di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa (12/1).  (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan (kiri) bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi (kanan) menyampaikan hasil pertemuan di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa (12/1). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah RI diminta  hati-hati dalam meminta DPR RI membahas RUU Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura. "Hati-hati, jangan sampai kedaulatan ditukar dengan kedaulatan," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (24/4).

Saran tersebut menyusul adanya klarifikasi dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Singapura meluruskan pernyataan Wapres Jusuf Kalla ihwal belum ditandatanganinya Perjanjian Ekatradisi Indonesia Singapura. Ia membenarkan perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Singapura telah ditandatangani pada 2007 di Bali seperti yang dinyatakan Kementerian Luar Negeri Singapura.

Namun, Hikmahanto menampik pernyataan Kemenlu Singapura yang menyebut, perjanjian ekstradisi belum efektif karena DPR RI tak kunjung mengesahkan perjanjian tersebut.Sebenarnya, Hikmahanto menjelaskan, usai ditandatanganinya perjanjian ekstradisi, muncul kehebohan di Indonesia. Kehebohan tersebut, disebabkan adanya isu yang menyebut perjanjian ekstradisi berkaitan dengan Perjanjian Pertahanan Indonesia Singapura (Defense Cooperation Agreement/DCA).

Sebab, Hikmahanto menjelaskan, masyarakat menganggap perjanjian pertahanan sangat merugikan Indonesia, jika dilihat dari berbagai aspek. Salah satu alasanya, karena draf perjanjian pertahanan dibuat oleh pihak Singapura.

Sebenarnya, ia berujar, Indonesia memiliki sejumlah keberatan terhadap perjanjian pertahanan. Namun, karena Pemerintah Singapura mensyaratkan bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan syarat kedua perjanjian ditandatangani secara bersama. Maka draf yang merugikan Indonesia dalam perjanjian pertahanan, terpaksa ditandatangani.

Selanjutnya, Hikmahanto melanjutkan, Singapura mensyaratkan ratifikasi atas dua perjanjian tersebut, dilakukan secara bersamaan atau tandem. "Di sinilah publik mempermasalahkan langkah pemerintah seolah pelaku kejahatan ditukar dengan kedaulatan," tuturnya.

Hikmahanto menuturkan, saat itu Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi hal tersebut dengan mengambangkan proses ratifikasi ke DPR. Yaitu dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Pertahanan.

Dia menegaskan, spanjang Singapura tidak mengubah sikap untuk men-tandemkan ratifikasi kedua perjanjian dan tidak menegosiasi ulang perjanjian pertahanan, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan proses ratifikasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement