Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Narasi Sejarah Pemilu yang Terlupakan 

Senin 14 Dec 2020 16:02 WIB

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto

Pemilu 1955

Pemilu 1955

Foto: Arsip RI
Ide dan program untuk menjalankan Pemilu sudah ada sejak Kabinet Natsir.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak ada yang salah apabila masyarakat mengingat Pemilu 1955 sebagai tonggak demokrasi di Indonesia. Peristiwa ini memang telah tercatat dalam sejarah sebagai Pemilu tingkat nasional pertama.

Pemilu 1955 selalu dipercaya sebagai ajang pemilihan satu-satunya yang terlaksana pada zaman demokrasi parlementer. "Padahal, ada pemilu-pemilu lain yang turut meramaikan kontestasi politik Indonesia di tahun 1950-an," kata Penulis buku Sejarah Pemilu yang Dihilangkan, Faisal Hilmy Maulida.

Indonesia pernah mengadakan Pemilu singkat lokal pada 1951 dan 1952 di Yogyakarta dan Sulawesi. Kemudian pemilihan anggota DPRD pada 1957. Bahkan, pemerintah setempat sempat berencana mengadakan pemilu kedua para 1959 atau 1960 tapi gagal karena lain hal.

Menurut Hilmy, keberhasilan Pemilu lokal di Yogyakarta dan Sulawesi menjadi dorongan tersendiri untuk Indonesia. Pemerintah terpicu untuk mengadakan Pemilu secara nasional pada 1955. Di kontestasi politik 1955 ini, PNI berhasil menjadi partai terkuat lalu disusul Masjumi, NU dan PKI. 

photo
Suasana pemungutan suara di Pemilu pertama Indonesia, 1955. - (Dok. ANRI)

Gagasan pemilu pertama

Pelaksanaan Pemilu 1955 sebenarnya tidak serta-merta hadir di tahun tersebut. Ide dan program untuk menjalankan Pemilu sudah ada sejak Kabinet Natsir (Masjumi). Kabinet ini dimulai sejak 6 September 1950 lalu jatuh pada 27 April 1951.

Meski Kabinet Natsir jatuh, program dan gagasan Pemilu tetap dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya. Kabinet Sukiman yang mengambilalih pemerintahan Natsir bertekad untuk membentuk Konstituante dan menyelenggarakan pemilihan dalam waktu singkat. Namun, belum genap setahun memimpin, kabinet ini jatuh lalu digantikan Kabinet Wilopo pada 3 April 1952.

Pada masa Kabinet Wilopo, UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPRD (UU Pemilu) berhasil disahkan. Namun penyelenggaraan Pemilu gagal dilaksanakan karena kabinet terlebih dulu jatuh. Selanjutnya, pemerintahan diambil-alih oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) dengan tetap meneruskan program Pemilu.

Menurut Hilmy, Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil merumuskan susunan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Pada prosesnya, juga berhasil melakukan pendataan pemilih, persiapan calon dan penetapan jadwal Pemilu. "Namun Pemilu gagal terlaksana di kabinet ini, karena kabinet harus kembali jatuh pada 12 Agustus 1955 atau satu bulan menjelang rencana Pemilu untuk DPR," ungkap Aktivis GMNI ini.

Pimpinan kabinet berikutnya dipegang oleh Burhanuddin Harahap (Masjumi). Pada masa kabinet ini, Pemilu tingkat nasional berhasil terlaksana dengan baik mulai 29 September 1955. "Dan soal penyelanggaraan pemilu ya memang kerja bareng yang nggak bisa dipisahkan berdasarkan partai masing-masing," kata dia menambahkan.

Pada proses pelaksanaan Pemilu 1955, respons masyarakat cukup luar biasa. Ajang ini seolah-olah menjadi 'hajatan' untuk masyarakat Indonesia. Mereka berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan baju terbaiknya.

Hilmy melihat adanya gambaran semangat yang luar biasa pada diri masyarakat. Mereka memiliki harapan tinggi untuk Pemilu 1955. Rakyat berharap hasil Pemilu dapat menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan jajaran kabinet atau parlemen.

"Artinya, ketika pemilu ada keterwakilan secara langsung, pemilih  bisa memilih dan memilah wakilnya secara langsung. Diharapkan nantinya ketika proses itu sudah selesai, nantinya stabilitas sosial politik bisa terwujud," ucap dosen di Universitas Binus Malang ini.

Kesuksesan Pemilu 1955 membuat pemerintah kembali melaksanakan penyelenggaraan tersebut pada dua tahun berikutnya. Pemilihan ini berlangsung secara bertahap mulai Juni sampai September dengan jadwal berbeda di setiap provinsi. Pada ajang ini, PKI berhasil menjadi partai terkuat, mengalahkan partai-partai besar lainnya.

Menurut Hilmy, keberhasilan PKI tidak lepas dari program-program yang telah dilaksanakannya. Setiap kegiatan yang mereka lakukan di satu daerah selalu berdasarkan riset. "Semisal mereka ada pemungutan suara di Jateng, riset Jateng perlunya apa, misal kesenjangan antara gaji buruh perempuan dan laki-laki. Itu yang diperjuangkan," jelasnya.

Selanjutnya, PKI selalu melaksanakan konsolidasi gerakan secara kuat. Mereka rutin mengevaluasi capaian target kaderisasi setiap bulannya. Lalu pimpinan partai berusaha turun ke lapangan untuk kampanye dan sebagainya.

 

 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler