Sabtu 10 Jul 2021 14:13 WIB

Pembunuhan Presiden Jovenel Moise Picu Kebingungan Politik

Pembunuhan Presiden Haiti akibatkan kevakuman politik tingkat tinggi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Petugas polisi dengan senjata terhunus mencari tersangka dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise, di Port-au-Prince, Haiti, Kamis, 8 Juli 2021.
Foto: AP/Joseph Odelyn
Petugas polisi dengan senjata terhunus mencari tersangka dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise, di Port-au-Prince, Haiti, Kamis, 8 Juli 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT-AU-PRINCE -- Pemerintah Haiti memberlakukan masa darurat selama 15 hari setelah Presiden Jovenel Moise dibunuh pada Rabu (7/7) lalu. Pemerintah namun sudah meminta agar bisnis dibuka kembali.  

Toko-toko, pom bensin dan bank-bank komersial sudah dibuka kembali sejak Jumat (9/7) kemarin. Jalanan masih sepi, walaupun sejumlah supermarket penuh dengan orang-orang yang ingin menimbun kebutuhan sehari-hari di tengah ketidakpastian.

Baca Juga

Pembunuhan Moise memicu kebingungan siapa kini pemimpin sah dari negara berpopulasi 11 juta orang. Negara paling miskin di kawasan Amerika.

"Pembunuhan ini memicu kevakuman politik dan institusional di tingkat kenegaraan paling tinggi, tidak ada ketentuan konstitusional untuk situasi luar biasa ini," kata politikus oposisi Haiti Andre Michel, Sabtu (10/7).

Konstitusi 1987 menetapkan kepala Mahkamah Agung yang seharusnya mengambil alih. Tapi saat ini tidak ada yang menduduki jabatan tersebut. Setelah pemilihan umum 2019 ditunda juga tidak ada yang duduk di parlemen.

Pekan ini Moise baru saja menunjuk perdana menteri yang Ariel Henry untuk menggantikan Claude Joseph. Tapi Henry belum dilantik ketika Moise dibunuh.

Hingga saat ini tampaknya Joseph yang mengambil alih kekuasaan. Tapi Henry yang lebih didukung oposisi mengatakan pada surat kabar Haiti, Le Nouvelliste, ia tidak menganggap Joseph sebagai perdana menteri yang sah, dilansir dari Reuters, Sabtu (10/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement