Rabu 15 Dec 2021 01:32 WIB

Ketua DPD: Presidential Threshold Saat Ini Dapat Timbulkan Korupsi

Ketua DPD menilai presidential threshold 20 persen rawan menimbulkan korupsi.

Red: Bayu Hermawan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menemui Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/12).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menemui Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen memiliki biaya politik yang tinggi. Menurutnya hal itu berpotensi menimbulkan kasus korupsi.

"Presidential threshold 20 persen itu mengakibatkan biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal. Biaya politik tinggi menyebabkan adanya potensi politik transaksional. Ujung-ujungnya adalah korupsi," kata LaNyalla dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (15/12).

Baca Juga

Jika ambang batas presiden ditiadakan atau turun menjadi 0 persen, menurut dia, tidak akan ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, dalam pertemuannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dia menyampaikan bahwa DPD sedang menggugat soal ambang batas presiden yang sebesar 20 persen agar turun menjadi 0 persen.

"Presidential treshold setinggi itu akan membatasi munculnya tokoh dan figur terbaik bangsa dari berbagai elemen untuk jadi pemimpin dan yang akan terjadi adalah kompromi-kompromi politik," ujarnya.

LaNyalla meyakini hal itu karena faktanya sudah ada tujuh partai politik berkoalisi, yang jumlahnya sudah menguasai 82 persen kursi di DPR RI. Selain kompromi tidak sehat, lanjut dia, ambang batas presiden sebesar 20 persen juga dapat menyebabkan konflik yang tajam di tengah masyarakat.

"Karena calonnya cuma dua. Membelanya sampai mati-matian. Yang terjadi kemudian berselisih dan bertengkar. Itu masih terjadi sampai saat ini," ucap LaNyalla.

LaNyalla juga menyinggung terkait dengan undang-undang yang bersifat koruptif bila tidak menguntungkan rakyat. "Kalau menurut saya, sebuah undang-undang yang memberikan ruang penyerahan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar, kemudian merugikan rakyat, itu sejatinya undang-undang yang koruptif," papar anggota DPD RI asal Daerah Pemilihan Jawa Timur itu.

Ke depan DPD RI ingin bisa bersinergi dengan KPK dalam pemberantasan korupsi. Tidak hanya di daerah, tetapi juga skala nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement