Rabu 21 Sep 2022 10:39 WIB

Produsen Bahan Bakar Fosil Diminta Bayar Pajak untuk Atasi Kerusakan Iklim Global

Industri bahan bakar fosil menikmati ratusan miliar dolar dalam bentuk subsidi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengatakan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan bahan bakar fosil harus dikenakan pajak untuk membayar kerusakan iklim. Menurut Guterres, perusanaan bahan bakar fosil menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan iklim. 

Pertanyaan tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk mendanai kerugian akibat perubahan iklim ini telah lama mengganggu negosiasi internasional. Negara-negara miskin mengatakan negara kaya yang harus membayar kerugian tersebut karena dalam sejarah merekalah yang pertama kali menghasilkan emisi karbon.

Baca Juga

Namun, negara-negara kaya menolak permintaan kompensasi apa pun. Argumen atas pertanyaan ini kemungkinan akan mendominasi diskusi pada KTT COP27 mendatang di Mesir.

Menurut Guterres, isu mengenai kerugian akibat perubahan iklim menjadi agenda yang penting untuk dibahas. Guterres pun mendesak negara-negara kaya untuk memenuhi tuntutan negara-negara miskin yang terimbas efek perubahan iklim.

"Industri bahan bakar fosil menikmati ratusan miliar dolar dalam bentuk subsidi dan keuntungan tak terduga sementara anggaran rumah tangga menyusut dan planet kita terbakar," kata Guterres dilansir BBC, Rabu (21/9/2022).

"Hari ini, saya menyerukan kepada semua negara maju untuk mengenakan pajak atas keuntungan tak terduga dari perusahaan bahan bakar fosil. Dana tersebut harus diarahkan kembali dalam dua cara: ke negara-negara yang menderita kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim; dan kepada orang-orang yang berjuang dengan kenaikan pangan dan harga energi."

Negara miskin menuntut adanya pajak karbon, pajak perjalanan maskapai dan retribusi minyak berat yang digunakan dalam pengiriman. Namun negara-negara kaya menolak gagasan membayar kompensasi tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement