Iran Geram Israel Campur Tangan Pembicaraan Nuklir Wina

Iran mengecam Israel karena turut campur dalam pembicaraan nuklir di Wina

EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi tiba pada konferensi pers pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, di Teheran, Iran, 21 Juni 2021. Raisi mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengikuti negosiasi nuklir dengan kekuatan dunia tetapi tidak untuk waktu yang lama, menambahkan bahwa AS harus mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan JCPOA.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Iran mengecam Israel karena turut campur dalam pembicaraan nuklir yang tengah berlangsung di Wina. Hal tersebut diungkapkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh dalam cicitannya di akun resmi Twitternya, Jumat (3/12) waktu setempat.

"Ketika #ViennaTalks maju, rezim Israel menunjukkan warna aslinya lagi, menyerukan penghentian segera negosiasi," cicit Khatibzadeh seperti dikutip laman Fars News, Sabtu (4/12).

Dia menyinggung secara khusus pernyataan perdana menteri Israel untuk segera menghentikan pembicaraan Wina. "Tidak mengherankan. Dialog selalu dibenci oleh rezim yang asal-usulnya didasarkan pada perang, ketegangan, dan teror," kata Khatibzadeh.

Dia juga menegaskan delegasi di Wina tidak akan mengambil instruksi dari Beit Aghion (kantor rezim Israel). Dalam sambutan yang relevan pada Rabu (1/12) lalu, Khatibzadeh memperingatkan upaya rezim Israel untuk meracuni pembicaraan Wina dan mencegah kemajuannya.

"Rezim Israel yang keberadaannya bergantung pada ketegangan kembali melakukannya, meneriakkan kebohongan untuk meracuni pembicaraan Wina," tulis Khatibzadeh di akunTwitternya, Rabu.

Dia mendesak pihak-pihak yang berunding di Wina untuk tidak membiarkan penilaian mereka dikaburkan oleh provokasi dan propaganda Israel. "Semua pihak di ruangan itu sekarang menghadapi ujian independensi & kemauan politik mereka untuk melaksanakan pekerjaan itu—terlepas dari berita palsu yang dirancang untuk menghancurkan prospek kesuksesan," kata juru bicara itu.

Putaran ketujuh pembicaraan dimulai di ibu kota Austria pada Senin (30/11) pekan ini. Tepat pada malam negosiasi, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan pihaknya sangat khawatir tentang kesiapan untuk menghapus sanksi.

Baca Juga


Bennett mengeklaim potensi penghapusan sanksi akan memungkinkan aliran miliaran (dolar) ke Iran sebagai imbalan atas pembatasan yang tidak memuaskan di bidang nuklir. Israel juga menabuh genderang perang dengan Iran. Israel bahkan mengancam adanya opsi militer ke Iran.

Dalam sebuah dugaan Iran, Israel menyabotase program energi nuklir damai Iran dengan membunuh sebanyak tujuh ilmuwan nuklir Iran termasuk Mohsen Fakhrizadeh, yang menjadi sasaran pembunuhan yang ditargetkan pada 2020. Tel Aviv juga telah menargetkan instalasi nuklir Iran dengan kejahatan teroris di beberapa kesempatan.

Mantan presiden AS Donald Trump meninggalkan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada Mei 2018 dan memberlakukan kembali sanksi anti-Iran yang telah dicabut kesepakatan itu. Dia juga menempatkan sanksi tambahan terhadap Iran dengan dalih lain yang tidak terkait dengan kasus nuklir sebagai bagian dari kampanye "tekanan maksimum".

Setelah satu tahun kesabaran strategis, Iran memutuskan untuk melepaskan beberapa pembatasan pada program energi nuklirnya. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah mengatakan bersedia untuk mengkompensasi kesalahan Trump dan bergabung kembali dengan kesepakatan, tetapi tetap mempertahankan sanksi sebagai pengaruh.

Iran mengatakan tidak akan menerima apa pun selain penghapusan semua larangan AS dengan cara yang dapat diverifikasi. Republik Islam juga menginginkan jaminan bahwa AS tidak akan meninggalkan perjanjian itu lagi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler