Din Syamsuddin: Jangan Coba Pisahkan Islam dari Indonesia

Menurut Din Syamsuddin, peran umat Islam begitu besar untuk tegaknya Indonesia.

dok. Istimewa
Cendekiawan Muslim yang juga tokoh Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah bangsa, ada begitu banyak kaum ulama dan zuama yang berjuang untuk kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran mereka pun sangat signifikan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. Hal itu disampaikan tokoh Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin saat membuka Kongres Umat Islam Sumatra Utara, Jumat (26/8).

Baca Juga


Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat periode 2014-2015 itu mengingatkan, NKRI yang berdasarkan pada Pancasila adalah hasil jerih payah para syuhada. Mereka mengorbankan jiwa, raga, serta harta demi tegaknya Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Din menuturkan, perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan telah dimulai 3,5 abad sebelum NKRI lahir. Ikhtiar itu diwujudkan melalui jihad para ulama dari berbagai daerah di Nusantara.

Bahkan, lanjut guru besar ilmu Pemikiran Politik Islam ini, adanya Negara Pancasila tidak terlepas dari kerelaan 73 sultan Islam, mulai dari Aceh hingga Maluku (Ternate/Tidore). Mereka rela menyerahkan kekuasaannya demi tegaknya NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

"Dasar Negara Pancasila yang ada sekarang ini tidak terlepas dari kerelaan para tokoh Islam. Antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan KH Wahid Hasyim dari Nahdhatul Ulama. Mereka rela untuk mengganti Sila Pertama pada Piagam Jakarta yang telah disepakati sebelumnya," ujar Din Syamsuddin di atas podium pembukaan Kongres Umat Islam Sumatra Utara, seperti dikutip Republika dari keterangan yang diterima di Jakarta, hari ini.

Sebelumnya, Sila Pertama berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Hal itu diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila, hingga saat ini.

Din menerangkan, kedua rumusan tersebut menegaskan bahwa Negara Pancasila adalah negara yang berketuhanan. Prinsip tersebut diperkuat oleh Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 bahwa Negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Maka, jangan ada yang ingin menyapih Negara Pancasila dari agama, khususnya Islam; apalagi, menghilangkan jejak Islam dari Negara Pancasila. Seperti kata Bung Karno 'Jasmerah.' Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Pada saat yang sama, 'Jashijau,' yakni jangan sekali-kali hapus jasa ulama," kata dia.


Besarnya jasa umat Islam besar dalam menegakkan Negara Pancasila tidak berarti perlu kaum Muslimin menuntut hak diistimewakan dalam kehidupan kebangsaan. Yang diperlukan adalah, umat Islam bangkit dalam menolak perlakuan yang tidak adil dalam kehidupan bersama. Ketidakadilan itu seperti adanya kelompok yang menguasai sektor ekonomi dan politik dengan meminggirkan kelompok lain.

"Jika itu terjadi, maka itulah awal dari runtuhnya negara bangsa yang bermotto Bhineka Tunggal Ika. Hal ini meniscayakan adanya pemimpin Indonesia yang mengamalkan prinsip kepemimpinan hikmah dalam Pancasila, yaitu kepemimpinan yang arif bijaksana, berada di atas dan untuk semua golongan," ujar ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) itu.

Kongres Umat Islam Sumatra Utara pada 26 Agustus 2022 dihadiri ribuan jamaah di Lapangan Kompleks Wisma Haji Medan, Sumut. Di antara hadirin adalah sekira 300 ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dari berbagai daerah provinsi tersebut. Sejumlah tokoh ikut menjadi pembicara, misalnya Ketua DPD-RI Lanyalla Mattaliti, Gubernur Sumut Edi Ramayadi, mantan Ketua MPR-RI Prof Amien Rais.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler