Soal Polemik Perppu Cipta Kerja, Ini Saran Jimly Asshiddiqie

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyarankan untuk membuat UU Cipta Kerja yang baru.

Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyarankan untuk membuat UU Cipta Kerja yang baru dalam mengakhiri polemik Perppu Cipta Kerja.
Rep: Amri Amrullah Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie memberi masukan kepada pemerintah untuk menyusun kembali pembentukan Undang-undang Cipta Kerja baru, ketimbang mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Cipta Kerja. Usulan Jimly ini demi menyelesaikan berbagai penolakan Perpu Cipta Kerja yang masih saja menjadi polemik hingga saat ini.

Baca Juga


"Tentang Perpu Ciptaker. Kalau ada niat dan tulus untuk bangsa dan negara. Tindak lanjut putusan MK soal uji formil pembentukan UU Ciptaker tidak sulit untuk dikerjakan dalam waktu dua tahun. Sekarang masih ada waktu tujuh bulan, sebelum tenggat waktu November 2023," kata Jimly kepada wartawan, Rabu (4/1/2023).

Karena itu, menurut mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menyatakan segera menyusun saja UU Cipta Kerja baru, yang bisa mengakomodir semua. Masih ada waktu tujuh bulan, untuk menyusun UU itu, sekaligus ia menyarankan lakukan perbaikan substansi materi pasal-pasal dan ayat-ayat yang dipersoalkan di masyarakat.

"Dengan sekaligus membuka ruang partisipasi publik yang meaningful dan substansial sesuai amar putusan. Tidak perlu membangun argumen adanya kegentingan memaksa yang dibuat-buat dengan menerbitkan Perpu di malam tahun baru yang membuat kaget semua orang," paparnya.

Jimly mengatakan pembentukan UU menurut UUD adalah DPR bukan Presiden seperti era sebelum reformasi. Apalagi sudah ada putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU. Bukan dengan Perpu tapi dengan UU dan dengan proses pembentukan yang diperbaiki sesuai putusan MK.

Anggota DPD RI asal DKI ini menilai Perppu jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel. Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong.

Ia menilai sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup. Maka bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk 'impeachment'.

"Kalau mayoritas anggota DPR siap, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan Anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment itu. Atau, bisa juga usul Perppu Ciptaker tersebut memang sengaja untuk menjerumuskan presiden Jokowi untuk pemberhentian ditengah jalan," terangnya.

Menurut Jimly, kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perppu Ciptaker ini, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran terbitnya Perppu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya. "Karena itu sebaiknya semua kembali setia kepada norma tertinggi yang sudah disepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945, jangan khianati," tegasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler