Lupa Mimpi Ketika Bangun Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya
Kebanyakan orang mengingat mimpi hanya beberapa saat setelah mimpi berakhir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat bangun tidur, tidak sedikit orang yang lupa mengenai isi mimpinya. Menurut pakar tidur, penyebabnya adalah kondisi biologis. Tepatnya, karena neurotransmiter yang membentuk memori jadi kurang aktif selama seseorang tidur.
Melupakan isi dari mimpi juga disinyalir terkait dengan tingkat aktivitas listrik di otak selama seseorang bermimpi. Selain itu, bisa jadi ada hubungannya dengan isi mimpi. Menurut teori psikoanalitik, informasi yang sulit atau traumatis dalam mimpi cenderung "ditekan" oleh otak.
Dokter yang fokus pada kebiasaan tidur di Yale Medicine, Meir Kryger, mengatakan bahwa kebanyakan orang mengingat mimpi ketika terjaga di tengah mimpi atau beberapa saat setelah mimpi berakhir. Sayangnya, ingatan itu hanya bertahan untuk waktu yang singkat.
"Kecuali jika langsung menuliskannya atau mengulanginya di kepala Anda berulang kali, ada kemungkinan besar Anda akan melupakan mimpi itu. Kemungkinan melupakan mimpi lebih umum daripada mengingatnya," kata Kryger, dikutip dari laman CNet, Selasa (28/3/2023).
Waktu di mana seseorang terbangun juga penting. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang bangun selama fase tidur rapid eye movement (REM) melaporkan mimpi yang lebih jelas dan mendetail. Sementara, orang yang bangun selama fase tidur non-REM melaporkan lebih sedikit mimpi, tidak ada mimpi, atau mimpi yang tidak penting.
Dalam tinjauan medis, mimpi adalah hal biasa. Faktanya, seseorang mengalami satu hingga enam mimpi setiap malam, dan yang terkuat terjadi selama tidur REM. Tidak ada orang yang mengingat semua mimpinya selama tidur. Bahkan, apabila seseorang terbangun dari mimpi yang sangat meresahkan atau tidak biasa, dia mungkin tak ingat.
Pakar tidur Alan Kuras menjelaskan, mimpi adalah pikiran, gambar, sensasi, dan terkadang suara yang terjadi selama tidur. Tidak ada bukti pasti tentang apa yang menyebabkan seseorang bermimpi. Namun, secara umum diterima bahwa mimpi mewakili kumpulan pemikiran, perjuangan, emosi, peristiwa, orang, tempat, dan simbol yang relevan dengan si pemimpi dalam beberapa cara.
Kuras yang juga menjadi pekerja sosial klinis berlisensi di Westmed Medical Group menyampaikan ada banyak teori tentang fungsi mimpi. Mimpi diyakini membantu dalam pembentukan memori, integrasi, pemecahan masalah dan konsolidasi gagasan, baik tentang diri sendiri maupun dunia di sekitar.
Para ilmuwan cukup mengetahui efek fisiologis ketika seseorang bermimpi. Namun masih banyak yang harus dipelajari tentang apa yang terjadi secara psikologis. Salah satu konsep yang diterima secara umum adalah bahwa bermimpi adalah proses yang sangat emosional.
Pasalnya, amigdala (pusat emosi di otak) adalah salah satu area otak yang paling aktif selama bermimpi. Hal itu sudah dibuktikan dalam sebuah penelitian neuroimaging. Banyak orang berusaha menafsirkan mimpi yang diingat, namun sebagian besar makna mimpi itu hanya spekulasi.
Menurut Kuras, yang lebih penting adalah bagaimana mimpi berhubungan dengan kehidupan seseorang. Kuras mengatakan, mimpi harus ditafsirkan khusus pada si pemimpi dan situasi yang dialami. "Tantangan apa yang mereka hadapi, dan perkembangan psikologis apa yang terjadi akan menginformasikan makna dalam setiap kasus," ujarnya.
Analis mimpi profesional Lauri Quinn Loewenberg sepakat bahwa mimpi dan maknanya sangat pribadi karena didasarkan pada pengalaman hidup individual seseorang. Beberapa mimpi benar-benar aneh, dan sebagian lain sepertinya pernah dialami semua orang, seperti mimpi jatuh atau mimpi seram.
Bagi Loewnberg, bermimpi adalah proses berpikir. Itu adalah pikiran bawah sadar seseorang dan cara seseorang berbicara kepada dirinya sendiri dalam simbol, metafora, dan emosi. Perubahan bahasa terjadi karena otak bekerja secara berbeda selama tidur REM.
Itu sebabnya mimpi bisa begitu menakutkan atau membuat frustrasi, dan menampilkan peristiwa yang tidak boleh atau tidak bisa terjadi dalam kehidupan nyata. "Singkatnya, mimpi adalah percakapan dengan diri sendiri tentang diri, tetapi pada tingkat bawah sadar yang jauh lebih dalam," ujar Loewenberg.