Anggota DPR Nilai Putusan MK Buka Peluang Revisi UU KPK
Masih ada perdebatan apakah putusan MK untuk pimpinan KPK saat ini atau berikutnya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia menilai putusan tersebut mempunyai konsekuensi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebab, masih ada perdebatan apakah putusan MK tersebut berlaku pada pimpinan KPK saat ini atau periode berikutnya. Putusan ini juga tentu membuka peluang kembali direvisinya UU KPK, khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK.
"Terkait putusan MK itu, saya melihat berarti perlu segera ada revisi UU KPK lagi. Selain tentunya kami harus mendiskusikan apakah putusan MK ini berlaku untuk KPK periode sekarang atau periode ke depan," ujar Arsul saat dihubungi, Kamis (25/5/2023).
Di samping itu, putusan tersebut juga memiliki konsekuensi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan hakim MK, yang diatur dalam Pasal 87.
Pasal 87 UU MK Nomor 7 Tahun 2020 menjelaskan, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun. Sedangkan dalam putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK ini, MK menekankan prinsip-prinsip keadilan terkait dengan masa jabatan pada lembaga-lembaga negara independen yang dinilai constitutional importance.
Secara implisit, maka MK mempertimbangkan masa jabatan pimpinan atau komisioner lembaga-lembaga negara semacam ini selama lima tahun. Maka atas dasar prinsip keadilan, masa jabatan pimpinan KPK itu dibuat sama via putusan tersebut.
Selain itu MK menganggap bahwa penetapan masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun itu dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat undang-undang. Dalam hal ini DPR dan pemerintah selaku yang membahas UU 19/2019.
"Nah, agar prinsip keadilan dan kemudian tidak dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat UU, maka DPR dan pemerintah yang saat ini sedang membahas RUU perubahan keempat UU MK juga harus menyesuaikan masa jabatan hakim MK ini dengan mengembalikan kepada UU awalnya, yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali lagi dengan masa yang sama," ujar Arsul.
Karenanya, ini memerlukan koreksi terhadap UU MK agar konsisten dengan pertimbangan hukum dan prinsip keadilan bagi pejabat pimpinan lembaga negara yang independen. Di mana mereka diseleksi secara terbuka, sebagaimana hakim MK dan komisioner lembaga-lembaga negara lainnya, seperti KPK.
Diketahui, pada hari ini MK memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Dengan putusan ini, jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
Lewat putusan itu, Ketua KPK Firli Bahuri dkk akan terus menjabat hingga tahun depan atau di masa Pemilu 2024. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat sidang pembacaan putusan pada Kamis (25/5/2023).
Hakim MK M Guntur Hamzah setuju masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan pimpinan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia. Seperti Komnas HAM, KY, KPU yaitu lima tahun. MK berpendapat pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif.
Kondisi itulah yang diyakini MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. "Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance yakni lima tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan," ujar Guntur yang diketahui pernah terjerat skandal pengubahan putusan MK.